Anantara Rasa

JAI
Chapter #72

71. Pecah Terburai



Kemenangan mungkin saja menjadi hal yang mutlak, sehingga banyak orang menderita kekecewaan ketika realita tidak turut menyertai. Sekeras apa pun hati mengatakan jika kalah maka tidak ada apa-apa, tetap saja di bagian kecil hati ini berteriak jika kemenangan merupakan sebuah kemultakan. Dan bagaimana mengenai kemutlakan itu sendiri? Apakah ia suatu yang pasti didapat? Atau didapatkan dengan sebuah kepastian? Hanya satu kemultakan di dunia ini, yaitu ketidakmutlakan itu sendiri. Tidak ada satu pun subtansi yang pasti akan langsung terjadi, sebagaimana harapan yang telah menghadapinya.

Jika Raka mengeluh mengenai prestasi yang tidak sesuai harapan, Arion berlaku berbalik. Senyum tulus seakan tidak menyimpan rasa kecewa bermain tatkala mereka memegang piala juara tiga, yang berarti mereka tidak menjadi yang pertama. Kalah dengan yang lebih pemula? Bagi Arion itu hal yang biasa. Tidak harus pula menjadi permasalahan yang besar karena baginya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk itu, tidak dilihat dari berapa lama dirinya bermain dalam dunia komik. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, bukan hanya pengalaman.

Setidaknya, mereka harus berbangga hati ketika Karin berteriak di samping Arion.

“Kita juara pertama!” Karin memegang bahu kanan Arion setelah panitia menyebut nama mereka.

“Karin? Lo juara!” Raka membalikkan tubuhnya.

Freya yang sedari tadi berdebar hati, kini bisa berlega diri karena pada akhirnya club mereka bisa menggema sebagai juara pertama. Ia mengenggam kedua tangan Karin yang dingin itu, lalu mereka berpelukan bersamaan dengan Zeta dari belakang.

“Karin ... gue bangga banget sama lo.”

Terdengar panitia meminta sang juara untuk berdiri di panggung. Raka sontak mendorong Karin dan Raka untuk segera melangkah ke sana. Namun, Arion kembali mundur karena tidak mau.

“Karin saja, gue tadi udah naik,” balas Arion.

“Arion ... ayo ke sana. Ini hak lo juga,” balas Karin mengajak.

Ia menggeleng. “Enggak, lo aja yang naik.”

“Arion ... lo itu juara pertama ....” Freya menggenggam tangannya.

“Lo butuh pendamping di sini karena bentar lagi lo bakalan dipanggil juga, kan?” Arion mengingatkan mengenai pengumuman juara lomba cosplay karakter anime tersebut.

“Ah, anak itu ... sudahlah Karin ... lo sendiri aja yang ke sana,” sambung Adit.

Dengan mata menatap sinis, ia beralih ke depan karena tidak berhasil membujuk Arion untuk bersama-sama di sana. Freya tidak tahu mengapa Arion enggan mendampingi Karin, padahal Freya mempersilahkan hal tersebut. Ia objektif dan tidak akan cemburu. Rasa percaya kepada Arion telah menyibakkan pemikiran negatifnya terhadap Karin, begitu pula harapnya Arion kepadanya sendiri.

Bangga sekali melihat teman satu club meneriakkan nama mereka sebagai tanda terima kasih. Wanita yang selalu berapi-api itu tampak begitu bahagia di atas sana dengan piala yang hampir tingginya setengah tubuh Karin sendiri. Sepatah kata singkat yang Karin ucap menyematkan jika ia bangga dengan teman-temannya yang selalu mendampingi selama latihan, terutama pria yang tidak ingin naik ke panggung itu. Arion sudah mengiringi suara merdunya dengan apik. Keahlian bergitarnya tidak diragukan lagi sudah menyempurnakan penampilannya tadi.

Piala besar itu pun sampai di tengah-tengah mereka. Ada dua piala yang menjadi hak milik kali ini. Di kala teman-teman yang lain berbincang satu sama lain membahas piala tersebut, ada satu orang yang tak bersuara sedikit pun karena pikirannya tertuju kepada pengumuman selanjutnya, yaitu Freya sendiri. Ia gugup menghadapi suara panitia yang akan menyebutkan namanya, bisa jadi ia tidak masuk ke dalam tiga besar hingga pulang dengan tangan hampa. Ia ingin sekali membincangkan piala tersebut, sebagaimana Karin sekarang.

Namun, semakin panitia penyebut juara berbicara, tiada angin yang menghantarkan penggalan nama itu padanya. Hampa nominasi juara tanpa namanya sedikit pun, hingga satu per satu pemilik posisi naik ke atas panggung. Freya pun tercengang, seperti tiada satu pun orang yang ada di sekitarnya. Bahkan, suara riuh yang ada di sana seakan terpendam oleh hatinya yang kecewa. Tangannya sedari tadi mengepal, tak sanggup lagi bergerak hingga terkulai sebagaimana daun kering yang jatuh ke bawah.

Arion menempelkan kepala Freya ke pundaknya.

Lihat selengkapnya