“Bagaimana menurut lo?” tanya Karin. Mereka duduk di antara piala juara pertama, tepat di kursi papan panjang belakang toko bunga. “Raka mutusin gue.”
“Ya, sebaiknya lo berpindah hati dengan orang lain. Kenapa lo cerita gue?” tanya Arion untuk memancing.
“Enggak ada, gue pengen cerita aja. Ngomong-ngomong, sejak kapan kalian pacaran sama Freya? Gue kira dia bukan tipe lo.”
“Emangnya lo tahu tipe gue bagaimana?” Arion sedikit sensitif dengan hal tersebut.
“Lo suka cewek yang cerdas, bukan? Lo sendiri yang bilang sama gue dulu.” Karin menadahkan wajahnya ke langit, menatap bintang yang bercahaya silih berganti.
“Freya itu cewek cerdas. Dia bisa masak, pandai memperlakukan orang lain dengan baik. Defenisi cerdas itu luar, enggak hanya berkutat dengan buku-buku,” jawab Arion.
Karin diam sesaat. Tangannya mengepal seperti yang ada dicemaskan. Datar wajahnya menatap ke tanah, lalu beralih menyoroti Arion yang diam seperti kayu mati. “Gue masih ada rasa sama lo. Semenjak hari itu, gue sama sekali enggak sama sekali ngelupain lo. Dan sekarang, lo tahu gue udah beres sama Raka.”
Sontak Arion menoleh padanya. “Oh, ya? Sebegitu mudahnya lo pindah ke orang lain kaya gini?”