Friska Akasia baru saja turun dari kereta listrik dan kini melangkah di trotoar Buaran, Jakarta Timur. Ia adalah wanita 21 tahun yang bekerja sebagai barista di Kafe Serati. Rambut pajang Friska berkibar ke kanan oleh angin, wanita itu menggunakan gelang karet di lengan untuk menguncirnya. Di antara polusi, ada aroma tanah yang kental, tanda bahwa sebentar lagi hujan akan turun. Ia pun menengadah, memandangi sekumpulan awan gelap berarak memberi keteduhan yang cenderung dingin. Beruntung sweter rajut yang dikenakan mampu menahan dingin agar tidak menembus ke paru-parunya.
Sepasang mata kecil itu makin menyipit kala secercah kirana surya berhasil menembus celah awan, kemudian Friska kembali merunduk dan memperhatikan jalan. Seorang wanita tampak berdiri mematung di ambang pintu rumah, ia menenteng ember berisi cucian, mungkin sedang menimbang apakah harus menjemur pakaian di pagi yang hendak diguyur hujan? Samar-samar gemuruh badai di langit mulai terdengar, langkah demi langkah membawanya pada pagi yang semakin gelap. Friska pun memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan kiri. Setengah sembilan, batinnya. Artinya masih tersisa setengah jam lagi untuk mulai bekerja.
Papan besar Kafe Serati sudah terlihat sekitar sepuluh meter di depan, hanya ada satu vespa toska yang terparkir. Ia tahu bahwa vespa itu adalah milik Dean, rekan kerjanya yang selalu datang lebih awal dan bekerja tiga tahun lebih lama di Kafe Serati. Kemudian Friska melihat banyak orang di sekitar yang sibuk dengan urusannya masing-masing; pria tua yang sedang bertanding catur, sekelompok gadis SMA yang sedang merokok, dan tukang parkir yang sedang berdebat dengan wanita pengunjung toko.
“Auw!” Tiba-tiba rasa nyeri berdenyut di pelipis, membuat langkah Friska melambat dan mengernyit memegangi kepala. Dadanya pun terasa sesak, seperti sedang memakai bra yang kekecilan. Setelah tiga denyutan di kepala, nyeri itu menghilang dengan sendirinya. Wanita itu menyadari bahwa belakangan ini denyut rasa sakit di kepalanya semakin sering terjadi, begitu juga dengan rasa sesak di dadanya. Kini ia menduga bahwa rasa nyeri di kepalanya itu bukanlah sekadar migrain biasa, mungkin indikasi dari penyakit lain yang belum diketahui.
Friska kembali melaju dengan mood yang menurun drastis. Mood buruk pun membawanya pada pelbagai macam pikiran berat yang membuatnya harus bekerja keras untuk mendapatkan uang. Ayahnya baru saja dipecat oleh perusahan kayu tempatnya bekerja, sedangkan ibunya terpaksa membuka laundry di rumah. Friska juga punya adik yang masih kuliah sambil kerja. Seringkali wanita itu harus mengeluarkan uangnya untuk membantu keluarga dalam memenuhi finansial apa pun.
Kini langkah kakinya sampai di depan Kafe Serati, di balik mesin pembuat kopi ada Dean sedang duduk membaca novel. Dean adalah pria berperawakan jangkung yang rupawan bagi Friska, pria itu punya cambang tipis dan rambut pendek bergelombang. Wanita itu tidak masuk ke dalam, ia malah berdiri membelakangi kafe dan melihat langit. Kecepatan awan hitam di atas sana tampaknya semakin bertambah, bahkan Friska tidak melihat lagi celah-celah yang bisa diterobos oleh cahaya matahari.
Wanita itu memejamkan kedua matanya, lalu ia mengangkat sebelah tangan ke atas dengan telapak yang terbuka. Friska membayangkan bentuk hamparan awan di langit saat ini. Mungkin seluas peta Jakarta, bergerak cepat, saling menyatu, dan yang pasti banyak garis-garis petir seperti akar pepohonan yang bergantian muncul. Pergilah awan, jangan bikin kafe ini sepi. Gue nggak mau kehilangan pekerjaan. Sepersekian detik kemudian Friska membuka kedua matanya lagi, setetes gerimis jatuh tepat di ujung hidungnya yang kecil, disusul oleh tetesan gerimis lain yang perlahan jatuh bergantian.
“Kok awannya nggak pergi?” Terdengar suara yang tidak asing bagi Friska, wanita itu tahu bahwa yang bertanya adalah Dean. Tampaknya pria itu telah menutup novel, keluar dari kafe, dan kini berdiri di sebelahnya. Friska enggan menoleh, tatapan wanita itu masih menengadah ke atas.
“Mungkin karena kekuatan gue belum cukup buat geser awan sebanyak itu,” jawab Friska seraya menurunkan tangannya. Asap rokok menguar, ia pun menoleh dan melihat Dean baru saja mengisap sebatang rokok. Itu Marlboro, Friska tahu favorit Dean.
“Jadi, kapan lo bakal punya cukup kekuatan buat gerakin awan sebanyak itu?” Dean bertanya sambil menggerakkan tangannya yang memegang rokok, sehingga asap itu bergerak dan membentuk pola yang abstrak. Friska terkesima dengan pemandangan itu.
“Kalau latihan gue sama Daskalos selesai.”
“Siapa Daskalos?”