Anatomi Mimpi

Ariya Gesang
Chapter #2

Hujan

Rasa kantuk datang pukul sembilan malam lewat, Friska berbaring di kasur yang menguarkan aroma sabun. Wanita itu menaruh ponselnya setelah lelah menggulir pelbagai video di Instagram—kebanyakan cuplikan dari superhero Doctor Strange. Di luar hujan turun lagi dengan sangat deras, sesekali cahaya kilatnya menerangi kegelapan kamar. Ia memejamkan kedua matanya. Gemercik air terdengar merdu, membawanya pada alam bawah sadar yang lebih tenang.

Detik demi detik memproyeksikan detail kejadian hari ini seperti potongan-potongan film yang diputar secara kilat. Tumpahan kopi, decitan mobil, novel di meja, genangan air, dan pandangan yang berkunang-kunang. Semua itu semakin menenggelamkannya ke alam bawah sadar. Friska masih bisa merasakan deru napasnya yang perlahan teratur, serta guling yang menindih sebelah pahanya. Lambat laun semua visualisasi itu menghilang dan menyisakan kegelapan. Tidak ada suara hujan ataupun detak jantungnya lagi.

Simak ceritaku baik-baik, karena bisa mengubah persepsimu tentang dunia ini.” Tiba-tiba terdengar bisikan di telinganya. Suara seorang perempuan. Friska bisa mendengar bisikan itu dengan sangat jelas, membuatnya membuka kedua mata dan perasaan takut pun mengalir bersama aliran darah. Wanita itu bergegas meraba sakelar di meja dan menyalakan lampu tidur. Nuansa kuning menerangi, ada segelas air di meja. Ia duduk dan meneguknya.

Suara perempuan yang didengarnya masih terngiang jelas, dalam dan serak. Namun, saat ini Friska justru kebingungan apakah yang didengarnya adalah bagian dari kenyataan? Wanita itu punya pemikiran bahwa suara-suara di kepala bisa terdengar lebih jelas saat ia mulai tenggelam ke alam bawah sadar. Ketika menaruh gelasnya lagi, Friska merasa ada kejanggalan lain yang terjadi. Tidak ada suara hujan ataupun cahaya petir lagi.

Wanita itu turun dari ranjang, ia melangkah ke jendela yang tertutup oleh tirai. Friska membuka secuil tirai dan melihat keadaan di pekarangan rumahnya. Wanita itu mengernyit kala menyadari tidak ada satu pun tanda bahwa hujan baru saja turun. Seharusnya lampu serambi bisa menunjukkan kilauan air pada dedaunan pohon mangga. Namun, ia tidak melihatnya sama sekali. Kejanggalan ini membuat Friska berniat melangkah keluar untuk melihat keadaan langit—dari dalam kamarnya terhalang oleh bangunan di seberang jalan.

Wanita itu kembali menutup tirai dan memakai sweter rajut yang menggantung. Ia keluar dari kamarnya. Di koridor, Friska melihat pintu kamar orangtuanya tertutup, tanda bahwa ibunya sudah tertidur. Sesampainya di ruang tamu, wanita itu melihat sepeda motor Honda Tiger milik ayahnya. Papa udah pulang dari bengkel, batinnya. Friska terus melanjutkan langkah hingga sampai di pintu depan. Wanita itu memutar kunci yang masih menempel di pintu, lalu membukanya secara perlahan dan angin malam pun menerpanya.

Nggak terlalu dingin, batin Friska. Wanita itu membandingkan angin yang dirasakannya saat ini dengan ketika hujan tadi. Ia melangkah di serambi dan terkejut melihat keadaan pekarangan rumahnya. Tanah dan rerumputan di bawah sana benar-benar kering, bahkan genangan air yang tadi sore sempat ia injak kini telah tiada. Friska pun melangkah turun dari undakan, lalu kepalanya menengadah memperhatikan langit yang benderang.

Bola mata wanita itu membelalak, bulan di atas sana tampak bulat sempurna. Ribuan bintang pun tersebar hingga membuat mulutnya menganga. Friska merasa baru berbaring sebentar di kasur, tetapi hujan mendadak lenyap dan tidak menyisakan satupun awan gelap. “Apa ini mimpi?” gumamnya. Wanita itu mencubit lengannya sendiri dan terasa sakit.

Dua bintang jatuh bersamaan dan sejajar, Friska Akasia melintasi pekarangan hingga sampai di pinggiran pagar. Jalanan depan rumahnya sepi, lampu pada tiang tidak menyala. Hanya ada segelintir kendaraan yang melintas. Wanita itu mengedarkan pandang ke kejauhan dan melihat semua lampu tiang yang lain juga tidak menyala—penerangan jalan hanya berasal dari lampu-lampu serambi, pom bensin, kendaraan, dan musola, dan itu-itu saja.

Kemudian sorot lampu sepeda motor menerangi wajahnya, membuat Friska menyipitkan mata. Sepeda motor itu berhenti di depan pagar, Yui baru saja pulang kuliah diantar oleh Gojek. Gadis itu turun dari motor, lalu membayar dengan uang yang tampaknya sudah disiapkan di genggaman tangan. Setelah Gojek itu pergi, Yui melangkah memperhatikan Friska. Gadis itu membuka pintu pagar yang tidak terkunci. “Lagi apa di sini, Kak?” tanya Yui. Ia menutup pintu pagar dan menguncinya.

“Gue bingung, Dek. Tadi kan hujan kenceng, ya. Kok sekarang langitnya jadi terang banget, sih?”

“Hah?” Yui mengernyit tampak kebingungan, kini gadis itu berdiri di depan Friska. “Masa, sih? Dari pagi kan emang terang. Barusan di kampus gue juga terang-terang aja. Di sini hujan, ya?”

Friska menggelengkan kepala, mulutnya pun menganga oleh banyak pertanyaan yang mulai bermunculan. Wanita itu tahu betul bahwa tadi sore Yui duduk di serambi mengerjakan tugas, sudah pasti melihat tanah yang licin dan dedaunan basah oleh hujan. Alih-alih melontarkan pertanyaannya lagi, Friska justru mencubit pipi Yui yang empuk, memastikan bahwa adiknya itu benar-benar nyata.

Lihat selengkapnya