Anatomi Mimpi

Ariya Gesang
Chapter #3

Espreso

Eminem menyanyikan Lose Yourself dari pengeras suara, menyamarkan deras hujan yang mengguyur siang. Friska pun bersenandung dan sesekali menggerakkan kepala mengikuti irama. Kedua tangannya sibuk membuat espreso, wanita itu memasang saringan yang sudah berisi bubuk kopi ke mesin. Seraya menunggu cangkir terisi penuh, ia memperhatikan pengunjung yang memesannya—wanita kantoran dengan rambut tersanggul rapi dan ID card di dadanya yang rata—hanya dua tonjolan kecil yang bisa membuatnya disebut sebagai wanita. Friska memberikan secangkir espreso pada Dean, pria itu yang akan mengantarkannya. Sudah jadi peraturan dasar Kafe Serati; jika tamunya perempuan, Dean yang akan mengantarkan pesanan, begitu juga sebaliknya. Dean pun membawa espreso di atas nampan dan mulai meninggalkan meja bar.

Friska duduk memperhatikan wajah wanita itu yang tampak sembap. Tak jarang wanita kantoran itu mengusap pipinya menggunakan tisu. Friska menduga bahwa wanita itu sedang patah hati, dicampakkan oleh pria kaya, atau mungkin kalah licin dengan penjilat di perusahaannya. Friska mengabaikannya, ia bersenandung lagi sambil mengelap rak gelas agar tetap mengilap. Sesekali mimpi anehnya semalam melintas di kepala, bertumpuk dengan bubuk-bubuk espreso. Sesekali juga nyeri di punggung menggigit lagi.

Tebersit pemikiran untuk pergi ke dokter dan memeriksakan penyakitnya, tetapi wanita itu takut kalau dokter memberitahu bahwa ia punya penyakit yang serius. Selalu seperti itu dari dulu. Ketika pandemi, indra penciuman Friska sempat tidak berfungsi—salah satu gejala terkena virus Covid-19. Bukannya pergi ke dokter, wanita itu justru memilih mengurung diri di dalam kamarnya. Sebab, ia takut kalau dokter akan memberitahu bahwa dirinya terinveksi virus. Mungkin Friska tidak bisa pulang ke rumah, mungkin wanita itu akan dikarantina bersama pasien lainnya, bahkan mungkin mayatnya akan dikubur bertumpuk dengan mayat-mayat lain dalam bungkus plastik.

You'd better lose yourself in the music, the moment you own it, you'd better never let it go ….” Friska bersenandung. Saat mengedarkan pandangannya ke satu-satunya pengunjung kafe siang ini, ia melihat Dean sedang duduk berhadapan dengan wanita kantoran itu. Si wanita kantoran sepertinya sedang menceritakan masalahnya pada Dean, tampak dari ekspresi dan air mata yang lagi-lagi mengalir. Memang tidak jarang ada pengunjung yang ingin detemani untuk sekadar ngobrol, karena terpampang kutipan besar di dinding: Ceritakan Masalahmu ke Kita, Ya! Nggak Boleh Dipendam!

Friska juga pernah menemani seorang pria yang kesal karena sulitnya mencari pekerjaan di Jakarta. Pria itu mengaku punya ijazah S1 dan mahir dalam mengoperasikan komputer. Namun, seringkali ia ditolak setelah wawancara kerja. Bahkan tidak jarang usahanya dikalahkan oleh kekuatan orang dalam. Saat itu Friska hanya bisa memberinya saran bahwa mencari kerjaan saat ini tidak harus sesuai dengan kemahiran yang dimiliki, cari saja yang mudah, yang penting dapat penghasilan halal.

Kini Friska duduk di kursi berkaki tinggi dan memandangi novel milik Dean yang tergeletak di meja. Friska mengambil dan membukanya. Setelah diperhatikan lebih saksama, ternyata buku itu bukanlah sebuah novel, melainkan buku non-fiksi dengan judul Anatomi Mimpi yang ditulis oleh dr. Sanusi. Wanita itu membalik halaman secara ngasal dan melihat sebuah penjelasan bahwa dr. Sanusi telah melakukan riset pada banyak pasiennya yang mengalami mimpi-mimpi aneh. Walaupun masih dalam penelitian, dr. Sanusi meyakini bahwa setiap inci bagian tubuh manusia bisa memanfaatkan alam bawah sadar untuk berkomunikasi. Lima menit kemudian Dean tampak melangkah menuju bar lagi, Friska pun menutup buku dan menaruhnya di tempat semula.

Pria itu langsung mendekat dan duduk di sebelahnya. “Dia curhat apa?” tanya Friska.

“Suaminya bunuh diri.”

Friska kembali menatap wanita yang masih mengusap air matanya menggunakan tisu. “Dia bilang apa aja?”

“Banyak, suaminya terlilit banyak utang. Setiap hari bikin rumah tangganya nggak tenang. Akhirnya bunuh diri.”

Bunuh diri, batin Friska. Hingga sekarang wanita itu tidak mengerti kenapa seseorang bisa berpikir untuk memilih membunuh dirinya sendiri? Apalagi jika alasannya cuma karena diselingkuhi, hal itu terasa tidak masuk akal di kepala Friska.

***


“Sumpah, Dek. Rasanya mimpi semalam tuh kayak beneran! Gue bisa cubit pipi lo!” seru Friska. Malam ini ia duduk di sofa bersama Yui, memeluk bantal dan mengunyah keripik singkong.

Lihat selengkapnya