“Ya, Pak. Maaf,” ucap Friska pada kedua polisi yang menghampiri. Kemudian wanita itu membelokkan sepeda motornya untuk putar balik. Pada momen ini ia langsung bisa menebak bahwa dirinya kembali ke dalam mimpi. Mimpinya sama, batin Friska. Wanita itu menarik gas kencang-kencang meninggalkan satu peleton polisi bersenjata yang mengerikan. Mereka seperti sudah siap berperang melawan sekelompok teroris.
Friska berbelok ke Perumahan Pegasus, ada jalan pintas yang bisa dipakainya menuju rumah. Neuron di kepala wanita itu membuatnya mengingat imbauan pemerintah pada layar besar agar masyarakat mematuhi jam malam. Mengurangi angka pembunuhan, batinnya. Siapa yang membunuh? Teroris? Polisi sebanyak itu membuat Friska menduga bahwa yang mereka lawan bukanlah pembunuh biasa, mungkin anggota teroris yang sudah teroganisir dengan rapi.
Dalam kegaduhan yang memenuhi kepala, wanita itu melihat cahaya biru dari mobil polisi yang terpakir jauh di depannya. Semakin dekat, ia bisa melihat empat orang polisi yang tampak sibuk di bawah pohon besar di sebelah lapangan basket. Kali ini sekumpulan polisi itu memakai seragam abu-abu yang sering dilihatnya, tanpa senjata semi otomatis ataupun helm seperti pasukan di perempatan tadi. Ada banyak warga yang berdiri dan memberi ruang untuk para polisi. Seorang petugas tampak dibantu rekannya memasang garis polisi, Friska pun menduga ada kejadian buruk di pinggiran lapangan basket itu.
Wanita itu memelankan laju sepeda motor dan berhenti di pinggiran. Ia mengernyit menajamkan pandangannya, untuk sekilas Friska bisa melihat seorang gadis yang terbaring di bawah pohon. Terdapat darah memenuhi leher hingga ke dagu gadis itu. Mayat? batinnya. Wanita itu mematikan mesin sepeda motor, lalu turun dan melangkah mendekat ke keramaian.
“—dia baru pulang les—”
“—masih tujuh belas tahun—”
“—gue nggak tahan lihat mayat, bentar—”
“—korban yang berapa berarti? Udah ratusan, kan?—”
“—nggak ada kamera di sekitar sini—”
Ia menembus keramaian yang sebagian besarnya adalah bapak-bapak. Friska berhenti melangkah tepat di belakang garis polisi, kini ia melihat gadis itu hendak dimasukkan ke dalam kantong oranye yang besar. Benar, dia mayat. Apa dia korban dari pembunuhan yang dimaksud pemerintah? Siapa pelakunya? Teroris? Kenapa teroris membunuh remaja?
“Mohon jaga jarak, Bu,” tutur seorang polisi berjanggut tebal. Ia memeringatkan Friska untuk tidak menyentuh garis polisi.
Sontak wanita itu pun menjauhkan tangannya yang tanpa sadar telah menyentuh garis polisi. Ia berbalik, kembali menerobos keramaian dan melangkah menuju sepeda motornya. Friska melangkah seraya menengadah ke langit, melihat bulan sempurna bersama bintang-bintang yang menerangi. Daun kering jatuh dan menempel di leher, wanita itu mengambil daunnya lalu meremas. Ia meremuknya dan merasakan remukan itu di telapak tangannya. Mimpi ini emang benar-benar kerasa nyata.
“Friska.” Terdengar seseorang memanggil namanya dari belakang. Suara seorang pria. Friska pun berbalik dan melihatnya. Seorang pria berkemeja rapi, lengkap dengan sepatu vantopel yang mengilap. Rambut pria itu tersisir kelimis ke belakang, alisnya tebal natural, dan punya kulit wajah yang jauh dari bayang-bayang jerawat ataupun sisa-sisanya.
“Ya?” sahut wanita itu seraya mengernyit, ia kebingungan karena tidak mengenalnya.
Pria itu beringsut mendekat, menguar parfum beraroma kopi dari tubuhnya. Lantas pria itu melepas kaus tangan dan menyodorkan telapaknya untuk berjabat. Friska menerima jabatan tangannya, terasa lebih hangat saat pria itu menyunggingkan senyum berlesung. “Kamu pasti bingung lagi di mana, kan?”
Kernyitan di wajah Friska semakin mendalam. “Ya, gu … aku bingung. Kok kamu kenal aku? Terus, kok kamu bisa tahu aku bingung lagi ada di mana? Ini mimpi, kan? Ini Perumahan Pegasus, kan? Tapi kok semuanya aneh banget? Ada peraturan Jam Malam, aku beneran nggak ngerti sama sekali.”
“Sini.” Pria itu mengajak Friska ke pinggiran, lalu duduk di bangku panjang di bawah cemara.
Friska pun mengikutinya, wanita itu duduk di sebelah pria yang tampaknya bisa menjelaskan banyak hal yang sedang terjadi. Untuk sekilas, ia beranggapan bahwa pria yang tak dikenalnya itu mirip dengan aktor Joe Taslim—jika punya kening yang lebih lebar lagi.
“Namaku Edo,” lanjut pria itu. “Saat ini kamu sedang berada di dalam mimpi, mirip seperti mimpi yang sering kamu alami waktu tidur, tapi mimpi ini akan terus berlanjut.”