Friska Akasia dan Edo berdiri di depan gerbang rumah kolonial yang punya pekarangan luas dan ditumbuhi tanaman boksus. Di bagian tengah gerbang, terdapat tulisan: Garuda Mistik. Arti kata mistik yang diketahui Friska adalah sesuatu tentang hal gaib, di mana akal manusia tidak mampu untuk menjelaskannya secara logis. Edo menekan sakelar bel untuk yang kedua kalinya. “Kenapa kita nggak langsung masuk aja pakai jurus teleportasi lagi?” tanya Friska.
“Kita nggak bisa sesuka hati pakai kemampuan spesial, terutama kalau berkunjung ke tempat ini.”
“Emangnya ini tempat apa?”
“Rumah untuk orang-orang beraura yang bekerja pada pemerintah.”
Mendengar jawaban itu, Friska menduga bahwa dirinya akan bertemu dengan orang-orang yang memiliki aura dan beraneka macam kemampuan. “Kamu juga bekerja buat pemerintah?”
“Ya, cuma tiga orang. Aku, Norin, dan Bardi.”
“Hah, cuma tiga orang? Sedikit banget.”
Seorang wanita tampak melangkah di pekarangan menuju ke pintu gerbang. Saat cahaya dari lampu taman menyinari, Friska bisa melihat rambut pendek wanita itu berwarna merah.
“Seleksinya sangat ketat, pemerintah nggak bisa terima sembarang orang.”
“Oke, jadi kamu sama dua temanmu itu kayak polisi gitu, ya? Cuma tugasnya nangkepin orang-orang berkemampuan spesial?”
Wanita berambut merah sampai di gerbang, ia membuka kunci dan menggeser gerbangnya separuh. “Kenalin, dia Norin,” tutur Edo.
“Hai,” sapa Norin. Wanita itu menyunggingkan senyum dan menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat. Dari jarak sedekat ini Friska bisa memperhatikan kilauan tindik yang menempel pada hidung Norin. Alis wanita itu gersang dan punya kulit sawo matang. Tubuhnya tidak lebih tinggi dari Friska, mungkin sekitar 160 sentimeter.
“Aku Friska.” Mereka bersalaman. Tidak ada sarung tangan, Friska menduga bahwa Norin tidak bisa melihat auranya saat ini.
“Harapan,” ucap Norin seraya melepas jabat tangannya.
“Harapan?” gumam Friska.
Edo masuk ke dalam, Friska pun mengikutinya, melewati Norin yang sedang menutup gerbangnya lagi.
“Ya, udah dua tahun aku baru lihat aura putih,” tutur Norin.
Friska berbalik dan menunggu Norin melangkah. “Kok kamu tahu auraku putih?”
Norin mengunci gerbang, lalu menatap Friska dan menyentuh tindik di hidung mungilnya. “Nggak cuma sarung tangan Edo, tindik ini juga punya fungsi yang sama.”
Kini kedua wanita itu melangkah bersama di belakang Edo. Friska penasaran asal benda-benda seperti sarung tangan dan tindik yang bisa melihat aura seseorang. “Kalau boleh tahu, kenapa tindik kamu dan sarung tangan Edo bisa bikin kalian lihat aura seseorang?”
“Bardi,” jawab Edo tanpa berpaling ke belakang. “Dia ahli artefak, bisa bikin benda-benda berkekuatan magis, salah satunya melihat aura seseorang.”
Bardi, batin Friska. Kemudian wanita itu merundukkan pandangan dan melihat sandal Swallow yang dikenakannya. Dengan cepat otaknya meringkas kondisi dunia ini dan pertemuannya dengan Edo. Jadi, ada pembunuh berantai yang punya kemampuan spesial sedang berkeliaran. Untuk mengurangi angka pembunuhan, pemerintah menerapkan Jam Malam. Edo, Norin, dan Bardi punya tugas buat menangkap orang-orang berkemampuan spesial yang melakukan kejahatan, target utama mereka saat ini adalah Jubah, si pembunuh berantai yang punya kekuatan mengendalikan waktu. Terus, aku datang ke dunia ini dengan aura putih yang bagi mereka spesial. Edo bilang ada ramalan tentang aura putih, tapi ramalan dari mana? Dunia mimpi ini rasanya kompleks banget.