Friska Akasia duduk di tengah-tengah kegelapan, tidak ada Edo atau siapa pun lagi. Kemudian suara hujan mulai terdengar samar, membuat wanita itu berasumsi bahwa ia sedang berada di ambang kesadaran. Friska menoleh ke sana kemari, mencari sesuatu yang mungkin bisa membantunya terbangun. Wanita itu pun beranjak dari sofa dan melangkah, tidak peduli kalau nanti ada dinding atau apa pun yang menghalanginya. Lambat laun suara hujan yang didengar semakin keras, sekonyong-konyong ia menduga bahwa alam nyata hendak menariknya kembali. Mungkin akan membawanya pada tempat tidur yang empuk dan remang.
Sepersekian detik kemudian Friska merasa bisa membuka kedua matanya dan terbangun. Dengan gerak perlahan, kelopak mata itu pun terbuka dan ia bisa melihat ternit di dalam kamarnya. Saat itu juga azan subuh berkumandang. Ketika menoleh ke kiri, ada Yui yang berbaring miring dan mendengkur. Tangan kecil adiknya itu berada di atas perut Friska. Keremangan menunjukkan bekas air mata di pipi dan hidung Yui. Dia nangis? Sontak ia teringat pada kejadian tadi malam, saat dirinya nyaris pingsan di hadapan Yui. Firska menduga bahwa Yui sangat mengkhawatirkan penyakitnya, sehingga adiknya itu datang untuk menemaninya tidur.
Friska menyentuh pipi Yui dan mengusap bekas air mata di wajahnya dengan lembut. “Dek, bangun,” bisiknya. “Solat subuh dulu.”
***
“Nggak ada gejala batuk sama sekali?” tanya dr. Erlin Fitriani pada Friska. Wanita paruh baya itu tersenyum ramah, rambut pendeknya mengembang dan dihiasi oleh uban yang tersisir rapi. Pagi ini Friska berada di puskesmas, berhadapan dengan dokter yang akan mendiagnosis penyakitnya.
“Nggak, Dok. Selain berat badan yang menurun, dadaku sesak dan sering sakit kepala. Sakit kepalanya lumayan sering, sehari mungkin bisa tiga sampai lima kali.” Friska enggan menceritakan nyeri di punggung yang sesekali timbul, begitu juga dengan nyeri pada perutnya semalam.
“Karena kamu nggak punya riwayat cidera di dada, tapi berat badan kamu malah menurun drastis, kemungkinan ada bakteri Tuberkulosis di paru-paru kamu. Ini diagnosis sementara saya. Pusing yang kamu rasain itu karena paru-paru kamu nggak bekerja dengan baik buat ngalirin oksigen ke otak. Cuma, karena nggak ada gejala batuk buat tes dahak, saya sarankan kamu menjalani proses rontgen. Kebetulan di sebelah puskesmas ini ada Laboratorium Amanda, baru buka bulan ini dan menyediakan fasilitas rontgen, jadi kamu nggak perlu rontgen jauh-jauh.”
“TBC, Dok?”
“Iya, nggak semua Tuberkulosis batuk berdahak, loh. Ini baru diagnosis sementara. Hasilnya bisa dilihat dari rontgen paru-paru kamu nanti.”
Friska pernah membaca di sebuah artikel bahwa Tuberkulosis bisa menular pada siapa pun melalui air liur. Hal ini membuatnya berpikir bahwa ia akan selalu mengenakan masker dan lebih menjaga jarak dengan orang lain. Seperti masker yang Friska kenakan saat ini, sebagai syarat masuk ke dalam puskesmas. “Kalau benar aku kena TBC, apa aku juga harus pakai masker terus, Dok?”
“Kalaupun kamu enggak kena Tuberkulosis, sebenarnya penggunaan masker sangat dianjurkan di manapun kamu beraktivitas. Terutama di jalan yang banyak polusi.”
“Baik, Dok. Aku ngerti. Kalau gitu aku mau rontgen paru-paruku.”
“Oke. Saya bikin surat pengantarnya dulu, ya.” Erlin mengambil selembar form surat dan mulai menulisnya menggunakan pulpen. “Mbak Friska sudah punya pacar belum?”
Friska tersenyum mendengar pertanyaan itu, tetapi ia tahu bawa saat ini Erlin sedang berusaha melakukan percakapan untuk mencairkan suasana. “Belum, Dok.”
“Udah bisa ketebak.”
“Hah? Kok gitu, Dok?” Friska mengernyit bingung, wanita itu merasa bahwa dirinya memiliki kekurangan sehingga Erlin bisa tahu Friska tidak punya pacar.
“Iya, kebanyakan perempuan cantik itu jarang punya pacar.”
Ternyata dugaan Friska salah, jawaban itu adalah pujian, senyum di bibirnya pun semakin melebar. “Masa sih, Dok?”
“Banyak risetnya. Salah satunya karena perempuan cantik itu bikin cowok-cowok pada minder buat deketin mereka.”