Nisan? batin Friska Akasia. Sesaat kemudian wanita itu baru menyadari bahwa ada gundukan tanah di belakang batu nisan. Rasa takut menjalar melalui aliran darah dengan cepat, membuatnya berdiri dan berlari menjauh. Labirin ini kuburan? Seraya berlari, Friska membaca surat An-Nas dalam hati. Cahaya senter yang redup menerangi jalanan di depannya secara ngasal, sesuai dengan degup jantung dan napasnya saat ini. Wanita itu berlari sedikit pincang, menahan rasa sakit pada jemari kaki kanan. Kaus putihnya sudah kotor, begitu juga dengan celana denimnya.
Ada perempatan yang tanahnya cukup terang karena pagar tanaman boksus di sekitarnya hanya setinggi ubun-ubun, sehingga cahaya bulan bisa menyoroti detail dari perempatan itu. Lurus, batin Friska. Wanita itu mengabaikan jalan ke kanan dan kirinya, tatapannya juga lebih sering mewaspadai tanah daripada dinding labirin, berharap tidak menemukan nisan yang lain. Semakin jauh dari perempatan, tinggi labirin semakin bertambah dan kegelapan pun semakin pekat lagi.
Lima puluh juta per bulan, batinnya. Wanita itu mengingat surat kontrak yang ditandatanganinya kemarin. Seumur hidup, ia tidak pernah memegang uang sebanyak itu. Friska merasa bisa menjalani hidup dengan lebih baik dari kehidupannya yang sekarang. Mungkin gajinya bisa dipakai untuk memodali ayahnya membuka usaha mebel, menyicil rumah di Perumahan Pegasus, atau mungkin memberangkatkan kedua orangtuanya pergi ke Mekkah.
Sampai di ujung pertigaan, cahaya senter wanita itu menerangi gelondongan kertas di tanah. Peta lainnya! Ia berhenti dan memungut gelondongan kertas itu, lalu membukanya. Peta yang sama seperti peta yang sudah ia temukan sebelumnya. Namun, kali ini tidak ada lingkaran merah, melainkan lingkaran biru dan hijau. Belok kiri, belok kanan, lurus, batinnya. Neuron di kepala Friska mulai menghapalkan jalur lain menuju lingkaran hijau. Tanpa berpikir lama, wanita itu membuang petanya dan bergegas lari ke jalur di sebelah kiri.
Jalanan di labirin ini terasa sedikit menanjak, ada juga akar-akar besar yang menghalangi jalan dan membuat larinya melambat. Rasa lelah menggerogoti sendi-sendinya, menimbulkan perasaan cemas jika tenaganya akan habis sebelum keluar dari labirin ini. Gimana kalau tiba-tiba Jubah datang ke sini? Bayang-bayang mayat gadis di pinggir lapangan basket pun kembali terngiang di kepala Friska. Udah pasti gue bakalan mati dan dunia ini runtuh kayak kata Bardi.
Gonggongan anjing kembali terdengar, mewarnai keheningan di antara suara langkah dan deru napasnya. Ada nisan lain di sebelah kanan, kali ini nisan berbentuk kotak yang tenggelam di bawah pagar tanaman boksus. Wanita itu melewatinya dengan cepat. Belok kanan, Friska berbelok ke kanan, ada lebih banyak batu nisan di jalanan ini. Wanita itu berlari lebih hati-hati menghindari nisan dan menginjak banyak gundukan tanah.
Tiba-tiba sebelah kaki Friska terperosok ke dalam tanah, wanita itu pun terjatuh lagi dengan kondisi kaki kanannya yang tenggelam. Senter terlepas dari genggaman dan menggelinding menjauh. Kini kedua tangannya berpegangan pada batu nisan dan berusaha bangkit lagi. Namun, belum sempat bangkit, satu mayat hidup muncul dari dalam tanah seperti perenang yang sudah menyelam selama ratusan tahun. Friska membelalak melihat detail dari wajah mayat hidup di depannya itu. Kulitnya sepucat susu, kedua matanya berongga lebar, dan banyak bagian kulit yang sudah terkelupas. Laki-laki. Berkepala botak, memakai kemeja putih yang sudah menguning dan compang-camping.
“AAAAAAAA!” pekik wanita itu. Ia berhasil mengeluarkan kaki kanannya yang terperosok. Mayat hidup itu mengayunkan sebelah tangannya dan nyaris meraih kaki Friska. Wanita itu pun berlari menjauh. Sekarang ia melihat banyak batu nisan dan tanah yang bergerak, mayat hidup yang lain mulai bermunculan. Friska mengabaikan rasa sakit pada kakinya dan terus berlari melewati belokan demi belokan hingga menjauh dari semua kengerian itu.
Setelah dirasa sudah berlari cukup jauh, wanita itu berhenti untuk mengatur detak jantung dan napasnya. Ia berputar memandangi sekitar. “Aduh, gue kesasar!” Friska menggaruk kepalanya sendiri dan mencoba mengingat-ingat jalur yang sudah dilaluinya tadi.
Srak! Terdengar suara dari belakangnya, ia pun menoleh dengan gerakan kilat. Mayat hidup yang lain memelototinya tepat di depan wajah, pria berambut ikal dan cuma punya satu bola mata. Kedua tangannya yang dingin mencekik leher Friska. “Argh!” gumam Friska mencoba berontak. Wanita itu menendang perut mayat hidup itu untuk menjauhkannya. Namun, saat menendang rasanya seperti ketika ia terperosok ke dalam tanah. Kaki kanan Friska menembus perut mayat hidup itu hingga membuatnya berlubang. Isi perut mayat hidup itu pun berceceran dari belakang.
Keseimbangan Friska goyah, wanita itu jatuh terlentang bersama dengan si mayat hidup. Namun, sekarang posisinya lebih tidak menguntungkan, mayat hidup itu menindih tubuhnya dari atas dan enggan melepaskan kedua tangannya dari leher Friska. Wanita itu mulai merasakan napasnya yang sesak. Dari jarak sedekat ini Friska bisa melihat wajah si mayat hidup secara lebih jelas. Gigi-gigi keropos mayat hidup itu sudah dilumuri oleh air liur dan siap menggigitnya. Wanita itu berusaha menahan kepala mayat hidup itu menggunakan kedua tangan, berupaya menjauhkan mulut mayat hidup itu dari wajahnya.
Dor! Suara letusan senjata api tedengar sangat jelas. Mayat hidup itu tiba-tiba melotot lagi dan cengkeraman tangannya di leher Friska terasa lemah. Sepersekian detik kemudian mayat hidup itu melepaskan cengkeraman tangannya dan beranjak menjauh. Mayat hidup itu tampak ketakutan lalu kembali menggali makamnya, ia mengubur dirinya sendiri seperti semula, bak ada malaikat yang mengatakan bahwa dunia ini bukanlah tempat untuknya lagi.