“Aku nggak terbiasa diperiksa dokter,” tutur Edo. Setelah makan malam, pria itu mengajak Friska jalan-jalan di selasar markas Garuda Mistik yang panjang. Keduanya melangkah pelan di antara pilar-pilar besar—Friska masih pincang. “Aku lebih memercayakan adikku buat ngerawat kalau aku sakit.”
“Kenapa? Bukannya dokter bisa lebih mudah sembuhin kamu?” tanya Friska, wanita itu menyesap teh dari mug.
“Aku punya pengalaman buruk. Sepuluh tahun yang lalu, ada wabah Piramida di sini. Semacam virus yang menyerang sistem imun, mirip seperti HIV, tapi menular lewat udara dan masih bisa disembuhkan. Aku sempet dirawat bareng ayahku di rumah sakit yang sama. Ada vaksin yang bisa sembuhin kami, tapi harus ngantri buat dapetin vaksinnya. Nggak semua bisa dapat.” Edo berhenti dan berdiri di sebelah pilar, memandangi deretan pohon cemara dan labirin tamanan boksus. Friska pun berhenti di sebelahnya.
“Waktu itu aku sudah bisa pakai kemampuan teleportasi,” lanjut Edo, “rasa penasaran bikin aku mengunjungi ruangan-ruangan rumah sakit itu diam-diam. Aku masuk ke salah satu ruang dokter dan denger percakapan yang nggak seharusnya aku denger. Mereka membahas jumlah vaksin yang terbatas dan berniat memberikan vaksin rusak ke pasien-pasien yang tidak mampu. Vaksin-vaksin rusak ini membunuh banyak orang, ayahku jadi salah satunya. Saat hariku hampir tiba untuk mendapat vaksin rusak, aku kabur dari rumah sakit itu. Aku pulang ke rumah dan adikku bahagia banget. Setelah aku ngasih kabar bahwa ayah kami meninggal, adikku menangis. Dia berjanji bisa merawat dan menyembuhkanku tanpa harus membawanya ke rumah sakit.”
Cerita itu terdengar pilu bagi Friska, ia terdiam menyadari trauma yang dialami oleh Edo sangatlah perih. Wajar jika pria itu enggan diperiksa oleh dokter. “Apa kamu laporin kasus itu ke pemerintah?”
“Ya,” jawab Edo. “Karena itu sekarang aku jadi bagian dari Garuda Mistik. Walaupun rumah sakit itu udah ditutup dan banyak rumah sakit baru yang dibangun, aku tetap nggak mau diperiksa oleh dokter.”
“Aku ngerti sekarang, tapi apa kamu yakin bisa sembuhin penyakitmu sekarang? Kelihatannya parah loh!”
“Yakin,” jawab Edo, lantas pria itu menatap Friska dalam-dalam. “Sejak ayahku meninggal, adikku punya keinginan yang kuat buat sembuhin aku. Alhasil dia jadi punya aura merah muda dan dibekali bakat untuk menyembuhkan penyakit seseorang. Andai saja adikku punya kekuatan itu lebih awal, ayahku nggak harus mati di rumah sakit.”
“Syukurlah,” gumam Friska. “Aku jadi pengin ketemu adikmu.”
“Nanti kuajak ketemu,” kata Edo. “Emm … jalan-jalan keluar, yuk?”
“Hah? Bukannya ini Jam Malam?”
“Kamu udah baca kontraknya kemarin, kan? Anggota Garuda Mistik bebas keluar walaupun Jam Malam sedang berlangsung.”
Friska tidak ingat ada bagian itu. “T-tapi, ke mana?”
***
Hamparan pasir terbentang luas dan terasa lembut di jemari kaki Friska. Kilauan ombak yang tersinari oleh gemerlap langit terasa meneduhkan mata. Wanita itu tidak pernah ke pantai di malam hari, rasanya sangat tenang dan damai. Kedua kakinya menginjak buih ombak, ia mengikuti Edo seperti ekor. Pandangannya lebih sering tertuju ke langit, ada bintang-bintang yang berjatuhan silih berganti. Friska tersenyum, momen ini terasa pantas untuk menggantikan petualangnnya di labirin dengan mayat hidup tadi.
“Di rumah adik kamu sendirian?” tanya Friska.
“Nggak, adikku tinggal sama sepupu. Rumah sepupu kami ramai, keluarga besar. Jadi aku ngerasa tenang buat ninggalin dia di jam kerja.”