“Simak ceritaku baik-baik, karena bisa mengubah persepsimu tentang dunia ini.” Friska Akasia membelalak dan menoleh ke sana kemari saat bisikan gaib dari perempuan misterius kembali terdengar. Kini wanita itu berada di tengah-tengah ruang gelap, tempat di mana satu episode mimpi telah berakhir dan dunia nyata akan datang. Suara itu menggema, memantul dari dinding-dinding tak kasat mata. Sekarang Friska merasa bahwa suara itu adalah bagian dari mimpi berkelanjutannya, mungkin sesuatu yang penting. Mungkin juga Edo dan teman-teman mengetahuinya, wanita itu berniat untuk menanyakannya pada mereka. Nanti.
“Hei! Siapa kamu?” seru Friska bertanya. Wanita itu tidak merasa takut untuk berteriak dalam gelap. Sekonyong-konyong ia merasa bahwa keberaniannya itu timbul karena pengalaman telah berkelahi dengan mayat hidup. Friska melangkah sambil mengulurkan tangan ke depan, berjaga-jaga jika ada dinding atau apa pun yang menghalanginya. Namun, semakin jauh wanita itu melangkah, ia tak kunjung menemukan apa pun di hadapan. Ruang gelap ini seperti tak berujung.
Sesaat kemudian azan subuh terdengar, Friska pun bisa merasakan kelembutan bantal di bagian belakang kepala dan punggungnya. Tak lama kemudian wanita itu terbangun dari tidur. Ia melihat Yui sedang mendengkur di sebelah, berbaring miring memeluk guling. Friska tersenyum, wanita itu merasa tenang karena belakangan ini adiknya setia menemani. Ada kisah lanjutan dari mimpi yang ingin diceritakan pada Yui, salah satunya adalah ketika ia menonton Najwa Shihab di TV. Tentu saja Friska enggan menceritakan hubungan intimnya bersama Edo, selain tabu, wanita itu tidak ingin menjadi contoh yang buruk untuk adiknya.
Kemudian ia ingat ada jadwal joging di alun-alun pagi ini bersama Dean. Kegiatan baru memang selalu mudah dikalahkan oleh rasa malas. Friska merasa ingin membatalkan janji itu, tetapi ia memahami niat baik Dean untuk membawanya pada pola hidup sehat. Di sisi lain, Friska merasa bahwa Dean sendiri juga bukan merupakan pria yang menerapkan pola hidup sehat, ia adalah perokok yang ulung. Mungkin baru kali ini tersadar untuk memperbaiki hidupnya dan mengajak Friska. Semua pemikiran itu pun membuatnya kembali menimbang-nimbang apakah harus memenuhi janjinya?
Lambat laun energi mulai terkumpul, muncul dorongan yang kuat untuk bangkit dan mengambil wudu. Namun, tiba-tiba wanita itu merasakan kejanggalan pada tubuhnya, kedua kakinya kebas, sontak ia pun melotot dan memperhatikan sepasang kaki pucat yang terbujur lurus di kasur. Aku kesemutan? batinnya. Friska berusaha menggerakkannya, tetapi sama sekali tidak bisa. Pikiran berlebih mulai menggelayuti kepala, wanita itu takut jika dirinya mengalami kelumpuhan. Ia duduk dan memijat paha hingga lututnya, tetapi tidak merasakan apa pun. Friska mencubit pahanya dengan keras, tetap saja kebas dan tak kunjung membaik.
Wanita itu memberengut, lalu merasakan nyeri yang hebat di punggung—dekat pantat. “AAA!” serunya. Ia meringis kesakitan dan berbaring miring menghadap Yui, lalu nyeri itu pun memudar dan hilang. Friska menepuk lengan adiknya yang masih mendengkur. “Dek, bangun, Dek ….”
Yui membuka matanya yang berair, gadis itu mengernyit dan segera duduk. “Kak, lo kenapa?”
“Kaki gue mati rasa, Dek. Nggak ngerti kenapa?”