Pintu Instalasi Gawat Darurat di rumah sakit bukanlah tempat yang Friska Akasia ingin kunjungi. Wanita itu merasa telah terjatuh dari tebing yang tinggi dan harus terbaring di tanah berlumur lumpur. Ia menangis saat dibaringkan pada kasur dorong dan dua orang perawat menyambutnya dengan cekatan. Mereka segera mendorong masuk ke dalam. Dinding-dinding serba putih dan wajah orang-orang asing yang dilewatinya semakin membuat Friska tak betah. Detak jantungnya meningkat hingga membuat perutnya terasa mual.
Sesekali wanita itu mendongakkan kepalanya melihat belakang, memastikan Yui tetap dekat dengannya. Tampak Yui menjelaskan banyak hal pada salah satu orang perawat—perempuan. Si perawat mencatatnya pada kertas, tidak panik, tersenyum, dan cantik. Yui mencerocos banyak hal dari mulai bangun tidur hingga harus menggendong Friska ke kamar mandi di rumahnya. Kini Wanita itu masuk ke dalam koridor yang lebih sempit dan melewati pintu demi pintu. Aroma obat-obatan menguar kuat, jauh lebih kuat dari ketika ia berada di puskesmas.
Anyir darah juga menguar tipis di hidung, entah dari ruangan yang mana? Seorang perempuan menjerit kesakitan di dalam kamar yang dilewati, mungkin lengannya terkilir, patah, atau mungkin digigit mayat hidup seperti yang ada di dalam mimpinya semalam. Friska tidak tahu, wanita itu tidak ingin tahu, ia hanya ingin bisa menggerakkan kedua kakinya lagi agar siapa pun tidak perlu repot-repot mendorong kasur rodanya. Tanpa sadar, jarum infus telah menancap di lengan Friska. Wanita itu tidak memedulikannya, bahkan ia tidak sempat merasakan sakit dari suntikannya. Sesaat kemudian perawat membawanya masuk ke dalam kamar yang suhunya lebih sejuk dan dilengkapi oleh beraneka macam peralatan medis dari perangkat elektronik yang Friska tidak tahu apa saja fungsinya.
“Rileks saja, Bu,” tutur perawat seraya memberikan bantal yang lebih empuk untuk sandaran Friska. “Dokter segera datang untuk menangani.”
Walaupun perawat cantik yang mukanya mirip gadis keturunan Arab—pucat, hidung mancung, alis tebal, dan berbulu mata lentik itu tersenyum, Friska tahu bahwa senyum adalah bagian dari pekerjaannya. Seperti ketika Friska bekerja di Kafe Serati yang dituntut harus tersenyum setiap ada pelanggan yang datang.
Yui menyusul dan langsung memijat ringan lengan Friska. Adiknya berusaha tampak tegar, tidak menunjukkan ekspresi kecemasan seperti tadi pagi. “Papa sama Mama lagi otewe, bentar lagi dateng. Kakak jangan takut.”
“Gue takut lumpuh seumur hidup, Dek.”
Yui menggelengkan kepala dan ketegarannya pun runtuh. Gadis itu memberengut dan menampakkan sorot matanya yang berkilau menampakkan kegetiran. “Lo harus tangguh, Kak.”
***