Gelombang udara mengempaskan Antoni dan motornya ke trotoar, bersama dengan pria tua yang perutnya berlubang. Antoni melihat jelas isi perut pria itu terburai, tetapi tidak tahu disebabkan oleh benda sekeras apa? Pria itu masih hidup, mencoba mengumpulkan isi perut dan memasukkan lagi ke tempatnya, seperti anak kecil yang sedang berusaha mengumpulkan semua kelerengnya di jalanan. Pemandangan itu hanya sekilas dilihat, lalu Antoni menuruni trotoar dan melangkah pelan dengan tatapan kosong. Semuanya hening, Antoni tidak mendengar apa pun selain dengungan di kepala yang entah kapan akan berhenti? Rasanya seperti sedang menyelam hingga ke dasar lautan yang gelap.
Pria itu merasakan perih pada betisnya, disertai aliran darah yang menggelitik ke jemari. Ia masih mencari, Antoni tahu Rosita terjatuh di belakang sana, tepat sebelum ledakan terjadi. Namun, tak ada satu pun tanda-tanda keberadaan istrinya. Di sekitarnya hanya ada puing-puing kendaraan, kobaran api, dan orang-orang sekarat. Antoni mengabaikannya, pria itu masih mencari istrinya seraya mencoba menahan kesedihan. Seorang wanita keluar dari mobil dengan punggung yang terbakar, ia berlari lalu berguling-guling di aspal. Gadis kecil berlari berlawanan arah, memeluk boneka Unicorn miliknya yang lusuh. Itu boneka mahal, Antoni tahu harganya di atas lima ratus ribu rupiah—dulu waktu usia Friska dua belas tahun—mungkin sekarang sudah di atas satu juta rupiah. Friska pernah meminta boneka itu untuk kado ulang tahun, tetapi Antoni justru mengajaknya ke pasar malam dan menunggangi Unicorn komidi putar yang terjangkau oleh isi dompetnya.
Di saat banyak orang yang berlarian menjauh dari tempat kecelakaan, Antoni justru melangkah lebih ke dalam. Masuk ke area yang lebih pekat oleh asap dan membuatnya batuk berkali-kali. Pelukan Rosita masih sangat terasa di pinggang, ia berandai-andai jika bisa menahan kemudi motornya dengan lebih baik, mungkin istrinya tidak akan terjatuh dan tertelan ledakan. Namun, Antoni tahu sedikit hal tentang menghadapi kematian dalam Islam, ia tidak boleh berandai-andai. “Dimensi,” gumam Antoni. “Dimensi ….”
Ternyata tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan Rosita. Istrinya itu telah terbaring di aspal, tertidur setengah gosong dan darah memenuhi daster kuning yang dikenakan. Antoni jongkok lalu menekankan dua jari tangannya ke leher Rosita. Pria itu pernah mendengar cerita orang-orang tentang bagaimana caranya mendeteksi tanda-tanda kehidupan pada manusia? Namun, ia tidak menemukannya pada Rosita. Dengan tenang Antoni membopong tubuh istrinya yang sudah tak bernyawa. Pria itu mulai menjauh dari tetek bengek rongsokan besi dan bau karet terbakar. Sekarang dengungan di kepalanya hilang, digantikan oleh teriakkan dan tangis manusia di sekitar. Ia sering menonton film perang, terutama Perang Dunia Dua yang kebanyakan melibatkan tentara Inggris. Saat ini dirinya merasa seperti sedang berada di tengah medan pertempuran, tempat di mana orang-orang kehilangan nyawanya. Tempat di mana peluru bisa menembus kepalanya kapan saja.
Remaja laki-laki berlari berambut ikal menyalip, sandalnya lepas satu dan menangis entah mencari siapa? Remaja itu menemukan tubuh seorang pria yang tertindih sedan, ia jongkok dan menangis kencang di dekatnya. Suaranya melengking dan bergetar. “Ayah!” pekik remaja itu dalam tangis. Ia menampar pipi ayahnya berkali-kali, tidak menyerah meski tidak mendapatkan respon apa pun. Seolah berharap bahwa ayahnya yang tertindih akan terbangun dan memeluknya. Namun, pria tua seperti Antoni sudah tahu bahwa besi seberat itu tidak akan membuat separuh bagian tubuh seseorang baik-baik saja ketika tertindih. Kemudian Antoni merunduk memperhatikan wajah tenang istrinya. Pria itu merasakan sakit yang luar biasa di hati, tetapi bingung kenapa tidak bisa menangis? Yang ada dipikirannya hanyalah Friska dan Yui. Ia tidak tahu apa mereka bisa menerima takdir?
Antoni berhenti di dekat remaja laki-laki itu, menatapnya penuh iba. Lantas remaja itu mendongak, menatap Antoni dengan wajah cengengnya. Tatapan sedih remaja laki-laki itu mengingatkan antoni pada masa lalu. Hari ketika ibunya meninggal oleh serangan jantung. Saat itu usia Antoni masih dua belas tahun, ia tidak menyangka bahwa Tuhan akan membawa ibunya tanpa peringatan. Ibu Antoni tidak menunjukkan sakit apa pun, ia sehat dan masih bisa bekerja keras menjual ikan di pasar. Namun, pada malam hari Antoni mendapati ibunya tergeletak di ambang pintu kamar mandi. Saat itu Antoni sebatang kara, ia berteriak mencari pertolongan tetangga. Pria tua yang masuk ke dalam rumah, langsung mengecek kondisi ibunya. Antoni masih ingat dengan jelas ekspresi dari wajah pria tua yang mengatakan bahwa ibunya telah meninggal. Kalimat dari pria tua itu juga masih terngiang di kepala Antoni hingga sekarang.
“Kamu laki-laki,” ucap Antoni pada remaja laki-laki yang menangis sesenggukkan. “Takdirmu adalah menjalani kehidupan yang keras. Jangan cengeng, ayahmu sudah pindah dimensi. Seperti istri saya. Ayok, bangun!”
Pindah dimensi, batin Antoni. Itu adalah satu-satunya frasa yang menguatkan hatinya dari kehilangan. Orang-orang yang meninggal hanya berpindah dimensi, mereka tidak mati, tetapi menjalani kehidupan di dunia lain. “Mobil ini bisa meledak kapan pun,” lanjut Antoni. “Ayahmu butuh kamu hidup untuk mendoakannya, supaya Tuhan ngasih tempat yang terbaik.”
Sesaat kemudian ponsel di saku Antoni bergetar.