Anatomi Mimpi

Ariya Gesang
Chapter #14

Tekad Akasia

“Di dunia mimpi Kakak lumpuh?” tanya Yui pada Friska Akasia. Kakak beradik itu melangkah di Taman Agustus, menikmati sore tepat setelah Yui pulang kerja. Taman kecil yang berada di pinggiran Kota Jakarta Timur, memiliki dua jalan setapak yang bersilang di tengah. Pohon-pohon tinggi sengaja dibiarkan untuk memberikan keteduhan. Daun-daun kering pun berserakan, membuat repot pekerja kebersihan untuk mengumpulkan dan memasukkannya ke tong sampah.

“Ya,” jawab Friska. “Lo harus gendong gue, ditambah kematian Mama karena kecelakaan.”

“Ngeri banget mimpi lo, Kak!” Yui menjilat es krim karamel dan meninggalkan noda di bibirnya. Gadis itu masih memakai seragam kerja serba abu-abu, bahkan wajahnya masih cerumut oleh daki.

Friska melintasi taman dengan perasaan aneh yang bercokol, wanita itu ingat dengan jelas bahwa Yui di dunia nyata menangis setelah mendengar kabar kematian ibunya. Bagaimanapun juga Friska akan kembali ke dunia nyata dan mungkin meronta lagi di atas ranjang rumah sakit. Ia benci momen itu, membuat hatinya tidak karuan dan akhirnya berhenti melangkah. Friska berpaling dari Yui, memperhatikan jalanan di pinggir taman yang sudah dikunjungi oleh polisi-polisi bersenjata. Dua di antara polisi-polisi itu memperhatikan, mungkin sudah tahu bahwa Friska adalah bagian dari anggota Garuda Mistik.

“Duduk di situ yuk, Kak,” ajak Yui, gadis itu melangkah ke bangku panjang di bawah beringin besar. Tidak banyak orang di sana, hanya ada dua anak kecil yang berlarian memainkan gelembung dan seorang wanita yang duduk di bangku panjang itu—mungkin orangtua dari anak-anak itu.

Friska dan Yui duduk di bangku panjang itu, berjarak sekitar lima pantat dari wanita bergaun putih yang sedang membaca buku seraya mengawasi anak-anaknya bermain. Walaupun gedung-gedung tinggi menghalangi matahari tenggelam dari pandangan, tetapi duduk di kursi taman ini pada sore hari mampu meredakan kesedihannya.

“Ntar malem gue ada latihan di markas,” tutur Friska, “gue harus fit biar bisa lulus latihan pertama.”

“Yang labirin itu, Kak?”

“Iya.”

“Jadi semalam lo belum berhasil?”

“Belum, gue gagal karena ketangkap sama zombi dan tersesat. Padahal udah gue inget-inget petanya.”

“Haduh, sulit juga ya latihannya.” Yui mengunyah bagian bawah corong es krim. “Lo harus tenang kalau gitu, Kak.”

“Nah, itu, Dek. Gue gampang kedistrak, agak sulit buat tenang. Nggak kayak lo.” Friska ingat ketika Yui di dunia nyata menangis setelah mendengar kabar ibunya meninggal. Adiknya itu menangis, tetapi tenang dan tidak histeris seperti dirinya yang bahkan meronta di atas ranjang.

“Gimana kalau lo anggap aja zombi-zombi itu temen lo sendiri? Itu kekuatan punya Kak Norin, kan? Dia udah jadi temen lo. Jadi nggak mungkin zombi-zombi itu nyakitin lo, Kak.”

“Zombi-zombi itu mau gigit gue loh, Dek! Kalau gue kegigit kayaknya bisa jadi zombi, deh!”

“Ih, kok gitu? Bahaya banget latihannya. Padahal lo kan satu-satunya orang yang mereka butuhin, ya? Kok tega mereka kasarin lo kayak gitu?”

“Entahlah, makanya gue panik, tapi dilihat dari lawan gue nantinya, latihan kayak gini rasanya pantas gue jalani.”

“Kalau gitu, ini tergantung keinginan dalam diri lo sendiri, Kak. Seberapa besar lo ingin menolong semua orang di dunia ini? Semakin besar keinginan lo, semakin besar juga usaha yang bisa lo lakuin. Misalnya kayak gue nih, ya. Awalnya gue males banget ngerjain tugas-tugas kuliah, tapi setelah tahu bahwa kuliah bisa bikin jabatan gue di kantor naik, gue langsung tekun belajar dan ngerjain semua tugas sungguh-sungguh.”

Mimpi, batin Friska. Hingga sekarang wanita itu masih menganggap bahwa ini hanya dunia mimpi. Mungkin karena itu ia masih setengah-setengah dalam menjalani latihan. Namun, keberadaan ibunya di sini dan kalimat yang diucapkan Yui itu semakin membuat dunia mimpi tampak lebih berarti daripada dunia nyatanya. Lantas Friska melihat sepasang anak kecil yang dari tadi berlarian di dekatnya. Mereka tampak bahagia dan tidak memikirkan apa pun selain gelembung yang beterbangan di udara. Tidak tersirat sedikitpun kekhawatiran pada dunia yang sedang berada di dalam kegelapan ini. Pemandangan itu memunculkan semangat yang tinggi secara tiba-tiba. Membulatkan keputusannya untuk menjalani latihan malam ini dengan sungguh-sungguh. Friska ingin menyelamatkan semua orang di dunia mimpi ini dari ancaman Jubah. Wanita itu bertekad untuk mengerahkan semua kemampuannya demi kedamaian dunia ini.

***

Lihat selengkapnya