Norin telah hilang ditelan kegelapan lorong labirin, tertelan kabut bersama dengan asap rokoknya yang melayang bagai hantu. Wanita itu sudah jauh di dalam sana, mungkin mulai mendiskusikan pelbagai macam hal dengan semua mayat hidupnya untuk menyergap Friska Akasia. Kini isi kepala Friska dipenuhi oleh puluhan makam yang ada di balik dinding-dinding labirin. Kegelapan adalah kendala baginya, cahaya senter yang redup tidak efektif digunakan sebagai penerangan, sehingga kemarin ia harus tersandung batu nisan dan merasakan nyeri.
“Dulunya labirin ini tempat makam, ya?” tanya Friska, wanita itu masih tidak menyangka ada makam di dalam labirin.
“Ya,” jawab Edo. “Makam pribadi keluarga Abbe. Ada 32 makam dari generasi ke generasi di tengah-tengah labirin itu.”
“Berarti Norin bisa seenaknya bangunin mereka yang udah mati?”
“Ya, tapi mayat-mayat itu nggak benar-benar hidup, Norinlah yang mengendalikan kesadarannya. Letusan dari pistolnya yang pertama memberi perintah pada semua mayat di dalam radius tertentu untuk menyerang siapa pun yang melintas di dekat makam mereka. Letusan kedua akan membuat semua mayat kembali ke dalam makam dan mengubur dirinya sendiri.”
Penjelasan itu membuat Friska merasa ngeri, ia berandai-andai jika ibunya yang di dunia ini meninggal, lalu Norin mendatangi makamnya dan menembakkan revolver ke udara. Friska tidak bisa membayangkan bagaimana wujud ibunya saat bangkit dari makam dan menyerang. Sontak wanita itu menyadari bahwa kemampuan spesial yang dimiliki Norin bukanlah kemampuan yang bisa dimiliki oleh sembarang orang. Butuh tanggung jawab besar untuk mengendalikannya. Tebersit keinginan untuk memiliki kekuatan seperti Norin, tetapi di dunia nyata, bukan di sini. Mama …. batin Friska. Namun, seperti penjelasan Edo bahwa kesadaran mayat itu dikendalikan oleh Norin, artinya Friska tidak akan pernah bisa mengembalikan sang ibu sepenuhnya meskipun ia punya kekuatan Norin di dunia nyata.
“Aku tahu apa yang kamu pikirkan,” lanjut Edo. “Dulu aku juga pernah meminta Norin membangunkan ayahku dari makam. Bukannya bahagia, aku malah dapat perasaan bersalah yang luar biasa. Nggak seharusnya aku mengganggu tidur nyenyak ayahku. Aku menyesal.”
“Apa adikmu tahu?”
“Nggak, dia bakalan benci aku kalau tahu. Adikku lebih kuat dalam menghadapi kematian daripada aku.” Friska pun kembali mengingat sosok Yui. Wanita itu juga merasa bahwa Yui lebih kuat daripada dirinya.
“Kapan kamu ngajak aku ketemu sama adikmu?”
“Kalau latihanmu udah selesai semua. Kamu juga boleh bawa adikmu ke rumahku.”
Friska tersenyum. “Kayaknya seru. Gimana kalau ajak mereka liburan bareng?”
“Ya, aku juga punya niat gitu.”
“Ke mana?”
“Belum kupikirin.”