Peta pertama telah ditemukan Friska Akasia di ujung labirin sebelum belok ke mana pun. Wanita itu menyorotkan cahaya senter dan membuka petanya. Kanan, kanan, kiri, kiri, ada pertigaan tetap lurus! Batinnya memperhatikan jalur labirin dari lingkaran merah ke lingkaran biru. Lingkaran merah adalah posisi peta itu ditemukan dan lingkaran biru adalah lokasi peta berikutnya. Ia pun menjatuhkan peta itu dan segera berlari mengikuti petunjuk yang telah melekat di kepalanya.
Suara anjing menggonggong kembali terdengar seperti malam-malam biasanya, tetapi kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Wanita itu mengarahkan senter lebih ke bawah untuk menghindari batu nisan atau apa pun yang bisa menyandung langkah. Belokan demi belokan dilaluinya. Walaupun sudah pernah masuk ke dalam labirin ini, tetapi ia merasa bahwa Norin telah mengganti jalur-jalurnya. Ada deretan cemara di tengah jalur labirin yang sebelumnya tidak Friska lihat. Lima, batinnya. Ia melewati kelima cemara itu, lalu menyeberangi perempatan kecil yang mengempaskan udara dingin ke seluruh bagian tubuhnya.
Tak butuh waktu lama bagi Friska untuk menemukan peta yang kedua, wanita itu segera membukanya dan menghapalkan jalur-jalur yang tergambar dari lingkaran biru menuju lingkaran hijau. “Kiri, kanan, ada perempatan lurus, kanan, kiri.” Kali ini ia menyuarakannya dengan jelas. Friska ingat bahwa kemarin tantangan datang setelah ia melewati jalur-jalur pada peta kedua. Walaupun jalurnya berbeda, tetapi Friska punya firasat bahwa ia akan kembali melewati makam-makam itu dan bertemu mayat hidup lagi.
Abbe, batinnya mengingat nama keluarga Belanda yang dimakamkan di belakang sini. Wanita itu tidak begitu tahu bahwa mayat hidup yang menyerangnya ternyata adalah orang Belanda. Sebab, saat itu gelap dan wajah mayat hidupnya telah rusak. Cerita dari Edo juga membuat Friska membayangkan bahwa daerah ini dulunya dikuasai oleh orang-orang Belanda. Markas yang sekarang digunakan oleh Garuda Mistik pun sudah pasti dulunya adalah rumah keluarga Abbe.
Wanita itu menjatuhkan peta dan mulai berlari memasuki jalur labirin di sebelah kirinya. Tatapannya fokus memperhatikan jalan. Ia juga sudah merasakan keringat pada kelopak mata dan ketiaknya. Deretan cemara yang lain dilalui olehnya, Friska menengadah dan memperhatikan satu cemara yang menjulang tinggi. Wanita itu berpikir andai saja bisa memanjat ke ujung sana, mungkin jalur labirin akan tampak lebih jelas dan bangunan-bangunan di luar labirin ini pun bisa terlihat. Namun, ia tahu bahwa cemara bukanlah pohon yang memiliki ranting-ranting kuat dan mudah dipanjat.
Friska berbelok ke kanan, tanahnya mulai menanjak dan lututnya pun turut berderak. Deretan cemara telah hilang, dinding tanaman boksus pada jalur ini juga tampak lebih tinggi dari yang lain—mungkin di atas sepuluh meter—sehingga menghasilkan lorong yang tak terjangkau cahaya bulan dan gelap. Wanita itu mengarahkan senter lebih hati-hati, karena masih taruma pada batu nisan di tengah jalan. Sesaat kemudian ia sampai di perempatan, di sini jalurnya kembali datar dan membuat Friska merasa sedikit lega.
Lurus, batinnya. Ada kejanggalan yang menanti di hadapan, satu pohon cemara telah runtuh dengan posisi membelah diding labirin dan menghalangi jalannya. Wanita itu pun memelankan langkah seraya menyorotkan senter pada guratan-guratan batang pohon cemara itu. Diameter cemara itu mungkin sekitar satu meter. Lantas cahaya senter menerangi tepat pada bagian bawah potongannya, terdapat kapak yang menancap. Sekonyong-konyong Friska berpikir bahwa itu adalah alat yang telah disediakan oleh Norin untuknya menghadapi mayat hidup. Wanita itu segera menaruh senter di bagian bawah potongan cemara itu lalu menggenggam batang kapak. “Argh!” gumam Friska, wanita itu kesulitan menariknya karena mata kapak tertancap cukup dalam. Ia melepas pegangannya dan menggunakan kaus yang dikenakan untuk membersihkan telapak tangan dari keringat.
Akhirnya yang ditunggu pun muncul, satu mayat hidup merangkak dari batang cemara yang terbaring. Dia pria berambut gondrong dan telanjang. Kedua mata hitamnya memperhatikan Friska, mendekat dengan lambat dan menguarkan aroma busuk yang kuat. Wanita itu kembali menggenggam batang kapak kuat-kuat. “ARGHH!” Ia mendorong potongan cemara dengan kedua kaki, kapak pun akhirnya terlepas.
Friska terjengkang hingga melemparkan kapak itu ke udara. Wanita itu terbaring di tanah, terlentang memandangi kegelapan langit dan siluet kapak yang tertarik gravitasi menuju arahnya. Friska bergeming, wanita itu sama sekali tidak takut andai kapak jatuh tepat mengenainya. Ia tidak memejamkan matanya, menatap siluet kapak yang semakin membesar dan bergerak cepat. Kamu yang sekarang lebih berani dan nggak takut mati, terlintas perkataan Edo di kepala. Kalimat itu memang benar dirasakan olehnya. Namun, Friska tidak mau mati sekarang, wanita itu punya harapan besar untuk menyelamatkan semua orang di dunia ini. Ia pun memperhatikan pergerakan kapak lebih saksama dan mulai bergeser ke kiri untuk menghindarinya. Kapak itu menancap di tanah, tepat di sebelah kepalanya. Friska merasakan detak jantungnya sangat stabil, wanita itu juga bisa memperhitungkan kapan ia harus berdiri dan mencabut kapak itu dari tanah, lalu mengayunkannya pada mayat hidup yang merangkak semakin dekat di atas batang pohon cemara.
Friska berdiri dengan mantap, wanita itu memperhatikan posisi mayat hidup yang sudah berjarak sekitar dua meter. Mayat hidup itu membuka rahangnya yang rusak dan mengambil ancang-ancang untuk melompat. Friska mencabut kapak dari tanah lalu berputar untuk memberikan ayunan yang kuat. Mayat hidup itu melompat ke arahnya.
Crak! Friska mendengar derak tulang patah saat kapak menebas leher mayat hidup itu. Kepalanya terlepas dari tubuh tanpa cipratan darah. Badan mayat hidup itu pun tergeletak di tanah, bergerak lebih pelan dari sebelumnya, sedangkan kepalanya menggelinding entah menuju kegelapan yang mana? Satu hal yang pasti, Friska telah melakukan perlawanan itu dengan ketenangan dan bebas ketombe.
Masih lurus, batinnya. Belok kanan, lalu belok kiri. Jalur-jalur labirin menuju lokasi pintu ketiga masih kental di kepala, efek dari keberanian dan ketenangannya dalam menghadapi rintangan. Wanita itu mengambil senternya lagi. Kemudian ia mulai berlari meninggalkan tubuh tanpa kepala yang masih bergerak merangkak tanpa arah. Friska sangat yakin bahwa latihan malam ini akan selesai dengan mudah, apalagi dengan kapak di genggaman tangannya.