Terasa getaran kuat dari kapak yang dipegang oleh Friska Akasia, tetapi wanita itu masih terpaku pada tubuh Norin yang mulai goyah dan akhirnya ambruk di rumput dengan posisi terlentang—dan berlubang. Jubah masih memperhatikan Friska, ia melangkah mendekat dan meninggalkan Norin. Seiring dengan langkah Jubah, kubah transparan muncul kembali, bergerak semakin cepat menuju Friska. Revolver di tangan Jubah masih mengeluarkan asap, Friska tahu bahwa dirinya bisa mati kapan saja. Sekali terperangkap dalam kubah itu, ia yakin bahwa hidupnya di dunia ini akan berakhir.
Semakin lama getaran kapak di genggaman tangannya terasa semakin kuat. Lantas pemandangan di depan mata Friska mulai bertransisi dalam bentuk pusaran air, berpusat pada tubuh Jubah. Sesaat kemudian semua penglihatannya tentang Jubah dan Norin menghilang, berganti dengan ruangan yang dipenuhi oleh rak buku. Bahkan udara dingin tidak lagi dirasakan olehnya. Getaran kapak pun berhenti, Friska langsung menjatuhkan kapak itu di atas permadani bermotif bunga mawar—bersama dengan senternya yang masih menyala.
“Kita harus cepat pergi dari sini,” tutur seorang pria dari belakangnya. Friska menoleh kaget dan mendapati Bardi sedang mengemasi barang-barang ke dalam ransel.
“A-apa? Kenapa aku ada di sini?” tanya Friska.
“Kapak itu,” jawab Bardi. “Secara otomatis bisa pindahin tubuh kamu ke ruangan ini saat ada energi negatif dari Jubah di dekatmu. Edo yang minta aku buatin.”
Friska pun memperhatikan kapak yang tergeletak di permadani. Wanita itu ingat bahwa Bardi adalah pria yang bisa membuat benda-benda berkekuatan magis. Ia tidak menyangka bahwa semua sudah direncanakan demi keselamatannya. Namun, kematian Norin membuatnya merasa bersalah. Andai Friska bisa menemukan kemampuan spesialnya di dunia ini, mungkin ia bisa menyelamatkan Norin dari Jubah. “Norin,” gumamnya, “Jubah udah bunuh Norin!”
“Aku tahu, karena itu kita harus segera pergi dari sini.” Bardi memasukkan pelbagai macam benda-benda seperti topeng, pena, dan buku-buku. “Sekarang Jubah udah lihat aura kamu, dia nggak akan berhenti ngejar buat bunuh kamu.”
“Kita nggak bisa lawan dia,” gumam Friska, tatapannya masih kosong memperhatikan kapak. “Aku nggak bisa ngalahin dia! Rumput-rumput itu, kubah, aku nggak ngerti gimana cara buat lawan kekuatan kayak gitu?”
“Belum,” ucap Bardi.
Sesaat kemudian muncul portal segitiga di ruangan itu, cahaya dari ruangan di dalamnya menyinari, mengalihkan perhatian Friska dari kapak. Edo datang dengan wajah panik, sontak Friska langsung berlari dan memeluknya. Wanita itu menangis, mengingat kematian Norin yang baru saja disaksikan olehnya. “M-maaf, aku nggak bisa selamatin Norin,” gerutu Friska.
“Cepat masuk ke dalam portal!” seru Edo.
Alarm berbunyi nyaring di luar sana, nada tunggal yang panjang dan tidak berhenti-henti. Lantas deru mesin helikopter pun terdengar, disusul oleh sirine mobil polisi yang mendekat. Bardi menggandeng tangan Friska, membuat wanita itu melepaskan pelukannya dari Edo. Bardi membawa Friska melangkah masuk ke dalam portal segitiga itu. Kini Friska pun berada di dalam ruangan lain yang serba putih dengan neon terang di atasnya.
Wanita itu memandangi Edo dari seberang portal, lantas portal tertutup perlahan dan lenyap di udara. Friska tahu bahwa Edo akan menjalankan tugasnya sebagai anggota Garuda Mistik, bersama dengan pasukan bersenjata lainnya untuk menghadapi Jubah. “Apa Edo bakalan baik-baik aja?”
“Selama nggak masuk ke dalam area waktu Jubah, semuanya akan baik-baik aja,” jawab Bardi.
Area waktu, batin Friska. Wanita itu mengingat kubah transparan yang membuat seisinya berhenti kecuali Jubah. Lantas Friska menatap Bardi yang sedang jongkok dan mencari sesuatu di dalam ranselnya. “Berapa luas Jubah bisa menciptakan area itu?”
“Mungkin sampai sepuluh meter.” Bardi mengeluarkan album foto dan membuka halaman demi halaman. Pria itu berhenti membalik halaman saat melihat foto ruangan perpustakaan. Lantas hanya dengan menyentuh foto itu, ruangan serba putih di sekitar Friska berubah secara perlahan. Buku-buku bermunculan di dinding, semua barang di sekitarnya berdatangan satu per satu dari lokasi yang acak. Semuanya bergerak ke tempatnya masing-masing, seolah dikendalikan oleh hantu tak kasat mata. Lantas permadani bermotif bunga mawar pun muncul di bawah kaki Friska. Ada gramofon dan meja kerja yang turut melengkapi ruangan ini.
Kini ruangan yang tadinya serba putih telah berganti menjadi perpustakan dengan nuansa yang lebih remang. Setelah semua benda di sekitarnya berhenti bermunculan, Bardi melepas jemarinya dari foto dan menengadah menatap Friska. Ternyata pria berkepala cepak itu menangis, air matanya mengalir deras dan berkilau. “Aku percaya sama kamu,” lanjut Bardi. Nada suaranya bergetar oleh tangisan. “Norin juga percaya sama kamu, jangan biarin kematiannya sia-sia!”
***