Bandung, batin Friska Akasia. Wanita itu berdiri di balkon memandangi puluhan pohon pinus di depannya. Ia mengenakan jaket hitam yang tebal milik Edo, aroma parfum kopinya menguar tipis ke hidung. Friska merasakan hawa dingin yang membuatnya tidak merasa nyaman, embusan napasnya pun mengeluarkan asap seperti orang yang sedang merokok. Wanita itu menggigil, tetapi enggan masuk ke dalam ruang yang memiliki perapian dan lebih memilih menyendiri di sini. Bisik serangga terdengar di dalam kegelapan hutan pinus itu, diselingi oleh suara dedaunan yang tertiup angin malam. Ia bertanya-tanya tentang kematian, seperti apa rasanya berada di alam kubur? Sendirian, dan didatangi oleh malaikat yang mempertanyakan keimanannya. Bagaimana jika dirinya mati di dunia nyata? Apa ia akan tetap bisa masuk ke dalam dunia mimpi ini?
Letusan revolver terakhir milik Norin masih tampak jelas di kepala, tanpa suara dan sangat hening, begitu juga dengan senyum ibunya di berbagai tempat. Perasaan bersalah terus berdatangan dalam hati, seperti angin yang terus membelai rambut panjangnya saat ini. Hal itu membuat Friska ingin menangis lagi dan lagi, tetapi air matanya sudah mengering. Wanita itu merasa bahwa kematian ibunya dan Norin adalah karena kesalahan yang telah dilakukannya. Andai pagi itu ia tidak lumpuh dan harus dibawa ke rumah sakit, ibunya tidak perlu berada di jalanan hingga mengalami kecelakaan dahsyat. Begitu juga dengan Norin, andai Friska bisa menyelesaikan latihan di labirin itu saat pertama kali mencobanya, mungkin Norin tidak perlu berada di labirin lagi dan bertemu dengan Jubah.
Sebisa mungkin Friska mempertahankan kewarasannya dengan terus memikirkan keberadaan ibunya yang masih hidup di dunia mimpi ini, begitu juga dengan Yui, Edo, Bardi, dan semua orang yang membutuhkannya. Namun, tetap saja ada rasa bersalah lain yang datang, fakta bahwa ia telah mengabaikan Yui dan semua orang di dunia nyata. Friska ingat saat Yui memintanya agar tidur lebih cepat karena besok harus ke rumah sakit. Saat itu Friska ingin menolak pergi ke rumah sakit, tetapi wanita itu kehabisan energi untuk berdebat, ia lebih memilih melanjutkan diamnya dan kembali ke dunia mimpi ini.
Kini Friska sadar bahwa dirinya tidak terlalu mengharapkan kesembuhan di dunia nyata. Muncul sepercik pemikiran bahwa wanita itu tidak peduli jika harus lumpuh seumur hidup, toh ibunya sudah tidak ada, toh masih ada dunia mimpi, tempat di mana ia bisa melangkah bebas dan keluarganya masih lengkap. Lantas Friska menarik napas dalam-dalam dan memegangi pagar balkon kuat-kuat. “AAAAAAAAAA!!!” pekiknya panjang. Suaranya lantang dan berakhir parau. Wanita itu merunduk, membenamkan wajahnya di kedua tangan. Ia benar-benar marah karena kekuatannya belum muncul walaupun dalam keadaan terpojok saat melawan Bartel dan anjingnya. Friska kembali menengadah, kali ini wanita itu menatap bulan tak sempurna di langit dan berteriak untuk kedua kalinya, berharap Tuhan mendengar teriakannya.
Langkah kaki terdengar di belakang, langkah kaki tanpa sepatu, hanya telapak yang menyentuh keramik. Ia pun merunduk dan menoleh. Yang datang adalah Edo, pria yang sudah menjadi bagian penting dalam hidupnya. “Bukan salah kamu,” kata Edo. “Kamu nggak boleh menyalahkan diri sendiri atas takdir yang terjadi.” Edo berdiri di sebelahnya, menatap jauh ke kegelapan hutan pinus di hadapan. Kedatangan Edo membuat Friska merasa tenang, semua kegaduhan di kepalanya mulai mereda secara magis. “Dunia ini luas banget, sedangkan kamu cuma punya dua tangan, sulit rasanya kalau harus mencegah seratus juta kemungkinan yang akan terjadi.” Kemudian Edo menatap Friska dan tersenyum.
“Kamu udah berhasil lalui latihan pertama,” lanjut Edo, “artinya Norin juga berhasil melatih kamu. Dia nggak mati sia-sia. Kamu berhasil bangkitin keberanian dalam diri kamu.”
Keberanian, gumam Friska. Wanita itu ingat saat Norin menceritakan sosok Bartel yang membunuh penebang pohon dan keluarganya. Seharusnya itu adalah cerita horor yang menakutkan bagi Friska, tetapi kematian ibunya membuat wanita itu memiliki keberanian untuk menghadapi rasa takut. Lantas ia kembali menatap langit dan bulan yang tidak sempurna di atas sana. Samar-samar Friska melihat jalur yang disiapkan oleh Tuhan untuknya, jalur yang terjal dan berbatu. Jika ibunya tidak meninggal, mungkin wanita itu tidak akan mendapatkan keberanian seperti kemarin malam. Mungkin ia akan mengeluhkan latihannya seperti saat pertama kali melakukannya. Friska menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, mencoba menenangkan dirinya dari semua rasa sakit. Kini wanita itu tahu sedikit seperti apa jalan yang ditunjukkan seraya berharap kemampuan spesialnya bisa segera muncul.
“Jubah lolos lagi, ya?” tanya Friska. Wanita itu menduga bahwa Jubah berhasil lolos karena Edo tidak datang menemuinya dengan langsung memberikan kabar baik.
“Ya, dia masuk ke Hotel Eagle, kami kehilangan satu per satu anggota di dalam hotel itu. Kami menduga Jubah menghapus auranya dan membaur bersama orang-orang di luar hotel. Ada banyak orang yang terpaksa harus kami evakuasi, mungkin salah satu di antaranya ada Jubah.”
“Menghapus aura?” Friska mengernyit. Sekarang wanita itu baru sadar bahwa seharusnya aura bisa membantu pemerintah menangkap Jubah, karena mereka bisa membedakan warna aura yang dimiliki Jubah dengan orang lain, tetapi tidak jika Jubah bisa menghapus aura dengan sesuka hati.
“Ya, itu masih jadi dugaan kami sejauh ini.”
“Kamu bisa menghapus auramu juga?”
“Nggak. Belum ada kasus orang-orang berkemampuan spesial yang bisa menghapus auranya sendiri. Walaupun gitu, kami tetap mikirin banyak kemungkinan yang bisa dilakuin Jubah.”
“Berapa petugas yang mati?”
“Ini rahasia, sebagai anggota Garuda Mistik, kamu punya tanggung jawab.”
“Ya.” Friska mengangguk.