Yui Edelweiss bermain catur dengan Friska di serambi rumah pada siang hari. Tetangga yang lewat selalu menoleh dan menyapa, seolah mereka tahu bahwa menghibur keluarga yang sedang berduka akan mendapatkan pahala. Gadis itu telah mendengarkan seluruh mimpi Friska Akasia dari A sampai Z, lantas merasakan betapa kompleksnya mimpi yang dialami Friska. Bahkan beberapa karakter di dalamnya memiliki keluarga. Seperti Edo yang punya adik perempuan bernama Lea.
Yui memajukan pion untuk mengincar ratu, tetapi Friska tampak mengerti langkah Yui. Wanita itu pun menggeser ratu tepat di depan pion. “Apa Kakak cerita ke Mama tentang dunia nyata ini?” Gadis itu mengabaikan ratu dan kini menggerakkan kuda hingga ke depan barisan pion.
“Nggak,” jawab Friska, “yang tahu kalau dunia itu adalah dunia mimpi cuma Edo, Bardi, Norin, sama pemerintah. Selebihnya aku nggak tahu siapa lagi, mungkin Jubah juga tahu.”
“Terus misal orang-orang di dunia mimpi itu tahu gimana? Misal gue yang di dunia itu tahu? Gue kan orangnya kritis.”
“Mereka nggak akan percaya, soalnya dunia itu nyata banget. Mirip kayak dunia ini.”
“Iya juga, sih. Gue kalau ada yang bilang dunia ini cuma mimpi juga nggak bakalan percaya.” Yui terkejut saat Friska tiba-tiba menumbangkan benteng miliknya yang offside, gadis itu pun memikirkan cara untuk membalas, sorot matanya memperhatikan benteng dan kuda Friska di sebelah kanan.
“Mulai besok lo berangkat kerja, kan?”
“Iya, Kak. Oh iya, kemarin Kak Dean nawarin gue buat gantian jaga Kak Friska. Kak Friska keberatan, nggak?”
“Ntar gue kalau mau berak gimana? Malu digendong Dean.”
“Hahaha.” Yui terkekeh dan siku tangannya menyenggol papan catur hingga semua bidak di atasnya bergoyang. “Apa kita minta bantuan tetangga aja? Bu Irma kayaknya mau bantu, Mbak Nani juga, atau Usi?”
“Nggak usah, ntar duit lagi.”
“Hemm, berarti Dean aja nggak apa-apa, nih?”