Anatomi Mimpi

Ariya Gesang
Chapter #24

Kepercayaan

Friska Akasia meringis menahan nyeri seraya memejamkan kedua matanya, otot-ototnya mengencang seperti atlet yang sedang mengangkat besi. Wanita itu bisa merasakan patahan tulang dan serpihannya menyobek daging setiap kali ia bergerak. Friska pernah jatuh dari sepeda dan mengalami luka sobek di telapak kaki, tetapi rasa sakitnya tidak bisa dibandingkan dengan lukanya saat ini. Peluru revolver yang panas pun melumat bagian dalam lututnya, memberikan bayang-bayang kengerian bahwa lututnya akan segera hancur.

Saat membuka kedua mata, tiba-tiba wanita itu berada di dalam ruangan serba putih yang tak berujung. Ia masih berbaring dan merasakan sakit yang luar biasa pada bagian lutut. Tampaklah darah segar meluas di lantai dari kakinya, warna merah sangat kontras dengan lantai yang putih. Gue ada di mana? Friska menoleh ke sana kemari, tetapi tidak menemukan keberadaan Edo. Kecurigaannya sekarang adalah bahwa ruangan serba putih ini merupakan bagian latihannya bersama dengan Edo.

Tap! Suara langkah terdengar dari belakang, wanita itu segera menoleh. Ia terkejut saat mendapati sosok berjubah hitam melangkah mendekat. “Edo?” Friska berharap bahwa sosok di balik jubah itu adalah Edo, tetapi sosok berjubah itu terus melangkah tanpa menjawab pertanyaannya, sedangkan wajahnya tersembunyi dalam gelapnya tudung. Lantas Friska menyadari satu hal yang janggal, sosok berjubah itu lebih pendek sedikit dari Edo, mungkin sekitar lima hingga delapan sentimeter. Hal itu membuat Friska meyakini bahwa ia adalah Jubah yang asli. Benar saja, tak lama setelah wanita itu menyadarinya, muncul api hitam dari punggung Jubah. Api hitam itu terus membara dan melebar ke lantai dan udara. 

Kemudian sensasi yang dingin terasa pada luka di lutut Friska, rasa sakit pun perlahan lenyap hingga membuat otot-otot di tubuhnya meregang. Ruangan serba putih dan Jubah menghilang perlahan, tergantikan oleh Lea yang sedang jongkok menyentuhkan jemari tangan ke lutut Friska. Aura merah muda dari gadis itu terlihat lebih terang di malam hari. Hanya dalam waktu kurang dari lima detik, rasa sakitnya tiba-tiba menghilang, bahkan wanita itu bisa menggerakkan lututnya lagi bak tidak terjadi apa-apa. Ia duduk dan meraba seluruh kakinya seraya mengusap ingus. “Tadi sakit banget,” gumam Friska. 

“Sekarang udah enggak kan, Kak?” tanya Lea. Senyum tipis gadis itu sangat menyejukkan. 

Friska mengangguk. “Iya.” Kemudian wanita itu menatap Edo yang masih berdiri dalam setelan jubah hitam dan memegang revolver. Saat ini Friska bisa memastikan bahwa ia adalah Edo. Wanita itu merasa sangat kesal lantaran Edo tega menghantam pelipis dan menembak lututnya. Friska memandangi Edo dengan tatapan tajam, memperhatikan wajah pria tampan yang saat ini hanya terlihat bagian bibirnya saja.

Lea beralih menyentuhkan jemarinya ke pelipis kanan Friska, kini sensasi dingin menjalar dari pelipis hingga pipi. Penglihatan mata kanannya pun membaik dengan cepat, serta tidak ada rasa sakit lagi. “Aku yakin banget Kak Friska bisa ngalahin Kak Edo. Aku bisa lihat aura Kak Friska jauh lebih terang, apalagi warnanya putih. Kakak harus yakin sama diri Kakak, jangan takut sama kekuatan punya Kak Edo.”

Edo melempar revolver ke sebelah Friska. “Isi lagi pelurunya, kita ulang.” Friska hanya terdiam, wanita itu masih memikirkan Jubah yang baru saja dilihatnya.

***

Lihat selengkapnya