Lampu yang menyorot ke panggung tidak terlalu terang, tetapi deretan lampu kecil di pinggiran membuat dr. Sanusi tampak nyaman untuk dilihat. Dean Kurniawan duduk di kursi belakang, menghadiri seminar dengan menggunakan tiket pemenang undian. Ada sekitar lima puluh orang yang duduk di kursi penonton, dua puluh di antara pemenang, dan sisanya mungkin kenalan dr. Sanusi. Malam ini pria itu mengenakan kemeja hitam dan membawa daftar pertanyaan pada notes ponselnya. Ada banyak yang ingin ia tanyakan, Dean berharap bisa mendapat kesempatannya.
dr. Sanusi adalah pria paruh baya yang rambutnya sudah putih semua dan tersisir rapi ke belakang. Guratan di wajah dr. Sanusi belum terlalu banyak, masih samar dan sesungguhnya tidak selaras dengan rambutnya yang putih rata. Saat ini dr. Sanusi sedang menjelaskan pengetahuan manusia tentang mimpi. “Sejauh ini mimpi adalah hal yang masih sulit dijelaskan secara logis oleh manusia,” tutur dr. Sanusi, pria itu berdiri di atas panggung dan tatapannya berselancar ke deretan penonton. “Kita semua pasti pernah menemukan sesuatu di dalam mimpi yang sebelumnya tidak pernah kita lihat di dunia nyata, bahkan tidak pernah kita pikirkan sama sekali. Mungkin para peneliti mengerti bagaimana seseorang bisa masuk ke dalam mimpi? Tetapi memahami makna dari sebuah mimpi masih menjadi sebuah misteri. Apakah mimpi didatangkan dengan sia-sia? Atau mimpi memiliki makna yang bisa memengaruhi kehidupan kita? Saya dihujat karena masalah ini.”
Seorang wanita gemuk terkekeh dan mengarahkan kamera ponsel untuk mengambil foto dr. Sanusi. Padahal di awal sudah ada aturan tidak boleh mengambil gambar apalagi berisik. Sontak Dean pun memahami bahwa tidak semua pemenang undian adalah orang yang benar-benar ingin mendengarkan dr. Sanusi. Mereka diambil secara acak, bisa saja ada orang yang hanya mengikuti tren membeli buku Anatomi Mimpi kemudian mendapatkan keberuntungannya. Seorang petugas keamanan menghampiri dan memeringatkannya.
“Mereka bilang buku saya laris karena kontroversial,” lanjut dr. Sanusi, “saya bilang tidak! Buku saya laris karena saya menceritakan fakta! Banyak hal logis yang saya tuangkan ke dalam Anatomi Mimpi. Justru saya juga mempertanyakan hal-hal magis yang dialami oleh teman-teman saya. Mereka selalu mengalami mimpi yang sama, setiap hari, sampai penyakit mereka sembuh dan mimpi aneh mereka pun hilang. Kemudian saya menangkap satu hal yang membuat orang-orang mudah membenci saya ….”
“Karena mereka malas membaca,” gumam Dean.
“Karena mereka malas membaca,” kata dr. Sanusi, “mereka lebih senang mengambil kesimpulan hanya berdasarkan dua kalimat caption di postingan media massa, bukan menggali pengetahuan pada buku Anatomi Mimpi ….”
Penjelasan dr. Sanusi membuat Dean mengingat sosok Friska Akasia yang saat ini mulai menyukai isi cerita novel. Awalanya, teman wanitanya itu enggan membaca buku, ia lebih senang menonton film-film superhero. Sekarang Friska sedang sakit, Dean merasa punya kesempatan bagus untuk menjejalinya dengan buku-buku yang sudah dibaca, terutama novel fiksi. Walaupun Friska masih sering melamun, tetapi bertambahnya minat wanita itu pada buku membuat Dean merasa senang. Dua puluh menit berikutnya dr. Sanusi selesai bercerita, kini pria berambut putih itu mempersilakan penonton untuk bertanya. Nyaris semua orang di dalam ruangan itu mengangkat tangan, termasuk Dean yang sepertinya tidak dilirik oleh dr. Sanusi.
“Ibu yang pakai baju hijau,” ucap dr. Sanusi seraya menunjuk menggunakan mikrofon. Wanita yang ditunjuk pun berdiri, seorang staf segera berlari memberikan wanita itu mikrofon.