Sudah satu minggu tepat Friska Akasia belum bisa melukai Edo, selama itu juga ia mengalami rasa sakit yang berkali-kali. Malam ini wanita itu bersembunyi di balik meja kerja, salah satu dari delapan ruangan yang terhubung oleh portal segitiga milik Edo. Lengan Friska mengucurkan darah, bekas tergores rak di gudang saat berlari menjauhi Edo. Tetesannya membentuk jalur di mana ia bersembunyi, lantas Friska pun memiliki ide yang patut untuk dicoba. Wanita itu segera melepas kedua sepatu ketnya dan menata sejajar. Saat ini ia dan Edo tidak menggunakan alat apa pun untuk bisa melihat aura, sebagai keringanan agar Friska bisa memenangkan pertarungannya.
Berikutnya Friska berlari seraya menahan luka agar darah tidak terkucur dari lengan. Friska berlari menuju kolong meja yang lain, tepat di seberangnya agar bisa melihat Edo datang. Dari sini Friska bisa melihat sepasang sepatu itu muncul di bawah kolong, bak ada seseorang yang bersembunyi di bawahnya. Friska sangat yakin Edo akan terpancing, wanita itu pun mengokak revolvernya dengan perlahan. Klak! Suara kokangannya berhasil teredam, ia langsung membidikkannya ke meja itu.
Sudah berkali-kali Friska meleset, sudah berkali-kali wanita itu kena hajar. Yang paling parah adalah saat tenggorokkannya terkena belati, ia nyaris mati dan beruntung Lea selalu datang dengan cepat. Mungkin neraka rasanya kayak gini, batin Friska. Dihajar, disembuhin, dihajar, disembuhin. Emang brengsek si Edo, udah kayak setan. Wanita itu memperhatikan jejak tetesan darah yang sempurna menuju ke arah meja itu, jika tak ada kesalahan, seharusnya ia bisa mengakhiri latihannya malam ini.
Tap! Langkah kaki terdengar, ia sangat yakin bahwa itu adalah Edo. Langkah kaki itu semakin dekat, berirama dengan detak jam dinding dalam keheningan. Keringat Friska menetes dari keningnya, wanita itu mengatur napas agar tidak menimbulkan suara apa pun. Tak lama kemudian sosok yang ditunggunya pun datang. Edo dalam setelan Jubah berdiri di belakang meja itu, menatap jejak darah dan moncong sepatu ket Friska. Tampaknya Edo benar-benar terpancing, pria itu berdiri di sana memandangi meja. Mungkin memikirkan cara bagaimana menyakitinya lagi.
Mampus lo Edo! Batin Friska, wanita itu mengarahkan revolver ke perutnya. Walaupun Edo pernah berkata bahwa jangan ragu untuk menyerang, tetapi Friska takut Edo mati di latihan ini, karena itu ia berusaha mengincar perutnya saja. Dor! Tubuh Edo terdorong dua langkah ke belakang, tetapi muncul sepetak transparan di bagian perut, tempat di mana peluru harusnya menembus. Edo pun membuka tudung dan menampakkan wajahnya. “Kamu berhasil,” ujarnya.
“HUAAAA!:” seru Friska, wanita itu keluar dari persembunyian dan melompat kegirangan. Ia tahu caranya akan berhasil, tetapi masih kesal karena ternyata Edo sudah melindungi dirinya dengan dinding tak kasat mata. Mungkin benda buatan Bardi, sehingga peluru yang dilesakkan tidak bisa menembus tubuhnya. Friska berbaring di meja dan menatap kipas yang berputar di atasnya. “Aku capek banget.” Wanita itu memejamkan mata seraya tersenyum.
***