Anaxtra kembali menaiki Flying Surfboard-nya, matanya tertuju ke tembok tinggi yang ada di depannya. Secara perlahan Flying Surfboard-nya melayang ke arah tembok itu.
"Jangan terlalu tegang, rileks saja!" teriak ayahnya dari bawah.
"Ayo semangat, Anaxtra! Kamu pasti bisa!” teriak Peter dan Lilia saling sahut memberi semangat kepada Anaxtra.
Anaxtra mengambil posisi badan dengan tegak, kaki kiri berada dibelakang sementara kaki kakan di depan seperti orang akan berlari.
Flying Surfboard semakin dekat dengan dinding tebing, Anaxtra segera menekuk kaki kanannya dan bertumpu pada kaki kiri yang masih tegak. Dia memiringkan Flying Surfboard hingga membentuk sudut 45 derajat.
Setelah jarak kurang lebih 7 meter dari dinding tebing, kecepatan laju Flying Surfboard mulai berkurang, namun Flying Surfboard itu terus mengapung naik dan semakin naik.
Anaxtra memandang sekeliling, hutan dan kampung dia tinggal terlihat hijau, Flying Surfboard-nya masih terus naik, melewati kucuran air terjun yang ternyata keluar dari sela-sela bebatuan tebing yang masih tinggi menjulang.
"Ternyata tebing ini lebih tinggi dari yang dia perkirakan, puncak air terjun hanya separo dari ketinggiannya," kata Anaxtra dalam hati.
Dia mencoba memandang ke bawah dimana ayah dan teman-temannya berdiri. Namun pandangannya tertutup oleh kabut yang berasal dari percikan air terjun. Mereka sudah tak terlihat.
Anaxtra kembali melempar pandangannya ke hutan tempat tinggalnya.
Sama.
Tak terlihat, seperti ada kabut awan yang menutupinya.
Tubuh Anaxtra masih terus melayang naik di atas Flying Surfboard. Dia merasakan suhu sekitar agak hangat, semakin lama berubah panas.
"Apakah aku sudah hampir melewati tebing ini?" otak Anaxtra mencoba mencerna.
Dan benar dugaannya, detik berikutnya dia melihat hamparan tanah gersang dan tandus di depannya.
Anaxtra mendarat ke tanah di depannya. Dia merasakan hawa yang panas langsung membalur sekujur tubuhnya.
"Apakah aku di neraka?" pikirnya.
Anaxtra melihat sekeliling, hampir tidak ada kehidupan. Sejauh matanya memandang, hanya hamparan kering dan gersang.
Anaxtra memegang pelipisnya, lalu sebuah layar kecil berbentuk kacamata terpampang di depan matanya.
Layar itu adalah monitor radar yang mampu menditeksi pergerakan suatu benda. Dengan kaca mata itu Anaxtra kembali melihat sekelilingnya dengan lebih seksama.
"Anaxtra! Anaxtra! apakah kau mendengarku?" terdengar suara ayahnya memanggil dari chip komunikasi yang tertanam di telinganya.
"Aku mendengarmu, Ayah," kata Anaxtra mengaktifkan mode jawab.
"Suaramu terdengar putus-putus, apakah kau baik-baik saja?" kembali suara ayahnya terdengar.