Mei, 1998.
Sejujurnya, aku tidak mengingat dengan jelas mengenai kejadian di hari itu. Usiaku yang masih berada di angka empat membuat memoriku tidak bisa merekam seluruh kejadian dengan baik. Tetapi aku masih mengingat beberapa hal, salah satunya mengenai kakak lelakiku.
Aku memiliki seorang kakak. Hanya saja, aku tidak bisa mengingat dengan jelas seperti apa detail wajahnya. Aku hanya mengenalnya melalui foto-foto yang terpajang indah di dinding rumah. Melalui foto itu, aku bisa menggambarkan bahwa kakakku adalah seorang lelaki berambut hitam dengan potongan pendek seperti aparat kepolisian, berkulit sawo matang, memiliki tahi lalat kecil di bawah mata kanan, dan mungkin tidak terlalu ramah. Sebab dari sekian banyak fotonya, kakakku itu tidak pernah mengulas senyuman di bibirnya.
Hal yang paling aku ingat adalah saat kakakku berpamitan pada kedua orang tuaku. Ayah dan ibu memeluknya sangat erat. Setelahnya, mereka masih saling berbicara. Kulihat ayahku tersenyum bangga sembari menepuk pundak kakak dan ibu menatap haru anak lelakinya sambil mengusap sudut matanya yang berair. Mereka berdua kemudian mengantar kepergian kakak sampai di pintu pagar.
Bertahun-tahun kemudian, aku jadi tahu bahwa itu adalah saat di mana ibu dan ayah melepas kepergian kakak untuk membela rakyat. Kakak sendiri adalah seorang mahasiswa tahun pertama yang saat itu sedang menggebu-gebu menyuarakan suara hati rakyat kepada para penguasa. Dari cerita yang kudengar, kakak bersama rekan seperjuangannya turun ke jalanan untuk menuntut adanya reformasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Saat aku masih berupa bocah ingusan, aku memang belum paham mengenai keadaan negara di tahun itu. Hanya saja aku ingat mengenai perdebatan ibu dan ayah yang hampir terjadi setiap hari. Ibu mengeluhkan kondisi ekonomi yang semakin terpuruk. Sementara ayah berada di dalam posisi yang tidak bisa berbuat banyak. Maka dari itu, mereka berdua menggantungkan banyak harapan kepada seorang anak laki-laki yang dengan semangat membara turun ke jalanan.
Usiaku memang terpaut sangat jauh dari kakak. Di tahun 1998, kakak sudah berusia delapan belas—beda empat belas tahun denganku. Katanya, kedua orang tuaku hanya menginginkan satu orang anak. Tetapi setelah kakakku berusia empat belas tahun, ibu melahirkan aku ke dunia. Artinya, aku adalah seorang anak yang tidak sengaja tercipta dari sebuah percintaan berlabel halal, meski hadirku sudah mati-matian dicegah melalui obat berbentuk pil yang dikonsumsi setiap hari.
Perbedaan usia yang sangat jauh tidak serta-merta menjadikanku sebagai anak emas dalam keluarga. Kehadiranku hanya disyukuri oleh beberapa orang sebab aku terlahir dengan kulit putih serta mata yang sipit. Seperti orang Cina, kata mereka. Namun ternyata itulah yang menjadi percikan api di dalam rumah tangga ibu dan ayah. Ayah menuduh ibu berselingkuh sebab kondisi fisikku memang tidak sama seperti mereka. Sementara ibu tetap bersikeras bahwa aku adalah murni anak ayah. Ibu mengatakan jika kakekku memang memiliki darah Tionghoa. Tetapi kakek yang dimaksud ibu bukanlah ayahnya sendiri, melainkan kakek dari ayah kandungnya. Artinya, buyutku yang memiliki darah Tionghoa.
Buyutku menikahi wanita pribumi setelah menjadi seorang mualaf. Tetapi dari beberapa orang anak mereka, tidak ada satu pun yang memiliki ciri fisik seperti orang Tionghoa. Bahkan, buyutku tidak menambahkan marganya di belakang nama anak-anaknya. Meski entah mengapa, genetik buyutku itu justru menurun padaku. Sebab tidak mampu memikirkan alasannya, aku menyimpulkan bahwa hal tersebut merupakan kuasa Tuhan. Jika Tuhan sudah berkehendak, manusia tanpa daya seperti kita, bisa apa?
Pada akhirnya, walaupun ayah tetap terlihat tidak bisa menerima—sebab ibu tidak memiliki kondisi fisik seperti keturunan Tionghoa—namun pria berusia kepala tiga itu mencoba mengalah dan berdamai dengan ibu. Kehidupan rumah tangga keduanya pun berlangsung seperti sediakala. Akan tetapi, yang paling merasakan dampaknya adalah aku—anak yang terlahir karena sebuah ketidaksengajaan.
Di tahun 1997, hampir seluruh wilayah Asia Timur dan Tenggara mengalami krisis keuangan. Hal tersebut dikenal dengan Krisis Finansial Asia 1997. Krisis ini bermula di Thailand (dikenal dengan nama krisis tom yum kung di Thailand) seiring jatuhnya nilai mata uang baht setelah pemerintah Thailand terpaksa mengembangkan baht karena sedikitnya valuta asing yang dapat mempertahankan jangkarnya ke dolar Amerika Serikat.
Saat krisis ini menyebar, nilai mata uang di sebagian wilayah Asia Tenggara dan Jepang ikut turun; bursa saham dan nilai aset lainnya jatuh, serta utang swasta naik drastis. Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand adalah negara-negara yang terkena dampak krisis terparah. Dampak krisis ini pun masih terasa hingga tahun 1998.