Kabar mengenai hilangnya kakak terdengar jelas melalui indera pendengar. Namun, apa yang didengar pada malam hari itu, sudah cukup untuk membuat dunia seorang ibu dan ayah runtuh. Pasangan suami-istri itu tak pelak histeris ketika mengetahui bahwa anak kesayangan mereka—Aradhana Mahardhika—dikeroyok oleh sekelompok aparat sebelum menghilang.
Setelah Aditya menyelesaikan penjelasannya, ibu bergegas maju dengan garang. Wanita yang sedang marah itu menampar Aditya berkali-kali. "Kenapa kau tidak menyelamatkan anakku?! Kenapa?" teriaknya pilu.
Aditya tidak menjawab. Sahabat karib kakakku itu justru semakin menangis. Aku paham, dia tidak menginginkan semua ini terjadi. Pun aku tahu, tenaganya terbatas untuk menolong orang lain sedangkan dirinya sendiri membutuhkan pertolongan. Hanya saja, bagi seorang ibu yang menerima kabar mengenai hilangnya anak kesayangannya, penjelasan tersebut dianggap angin lalu; bualan atau omong kosong anak muda yang tidak mau disalahkan.
Melihat tingkah ibu yang sudah tidak terkontrol, ayah dan Mang Rahadi menahan tangan ibu dan menjauhkan wanita itu dari Aditya. Ibu berteriak sambil meronta. Sepertinya puluhan tamparan di wajah Aditya belum bisa meredakan amarahnya.
"Jangan tahan aku! Lepaskan! Aku ingin menghajar anak sialan ini! Kenapa bukan kau saja yang hilang, hah?!"
"Ssttt ... Rani, hentikan," ucap ayah sambil memeluk ibu dengan kuat.
Ibu masih meronta, sementara ayah semakin mengeratkan pelukannya. Bisa kulihat dengan jelas bagaimana sabarnya ayah saat menenangkan ibu. Wajah pria itu basah oleh air mata. Tetapi tidak ada suara sekecil apa pun yang keluar dari bibirnya. Tak perlu perbandingan. Sebagai orang tua, ayah dan ibu tentu merasakan sakit yang sama.
Aku tidak mengingat dengan jelas berapa lama keadaan seperti itu berlangsung. Hanya saja, aku dan Batara diarahkan Mang Rahadi ke dalam kamar. Tak lama setelah kepala kami menyentuh bantal, aku dan Batara segera terpejam—menyambut mimpi yang entah mengapa selalu terjadi di luar kuasa si pemimpi.
***
Pagi hari, Mang Rahadi beserta ayah dan ibu tampak sibuk. Ketika melihat aku dan Batara keluar dari kamar, Mang Rahadi berjalan mendekati kami. Pria itu kemudian duduk bersimpuh agar tubuhnya bisa sejajar dengan kami. Tatapan matanya terlihat teduh. Namun guratan khawatir tercetak jelas pada wajah bulatnya.
Mang Rahadi menghela napas sebelum membuka mulutnya. "Batara, Ara ...," ucapnya sembari menatap aku dan Batara secara bergantian. "Hari ini kalian tidak boleh keluar rumah. Tetap di dalam sampai kami bertiga pulang," lanjutnya.
Batara mengerutkan alisnya. "Kenapa?" tanyanya.
Mang Rahadi meletakkan tangan kirinya di atas pundak Batara. "Keadaan di luar sangat kacau, Nak. Kalian tidak boleh keluar sampai keadaan membaik," terangnya sembari menatap anaknya dengan dalam.
"Lalu mengapa Papa bisa keluar?" Batara kembali bertanya. Kali ini, pertanyaan tersebut membuat Mang Rahadi terdiam.
Mendengar pertanyaan Batara, aku pun memberanikan diri membuka suara. "Ayah dan ibu mau pergi ke mana?" tanyaku kepada dua orang dewasa yang tengah menatap kami dari ruang keluarga.
"Kami mau mencari kakakmu. Sudah. Jangan banyak bertanya!" jawab ibu sedikit ketus.
"Rahadi, sudahi penjelasanmu. Aku yakin Batara bisa memahami perkataanmu." Kali ini, ayah yang berbicara.
Mang Rahadi tidak menyahuti perkataan ayah. Dia justru menghela napas sebelum berdiri tegak. "Ingat, jangan pernah keluar rumah sampai kami pulang," ucapnya sembari berbalik menuju ke tempat ayah dan ibu.