Saat langit tiga belas Mei semakin menghitam, aku dibawa pergi; jauh dan tak tahu masih bisa pulang atau dipaksa menghilang.
Jika salah satu puisi Sapardi Djoko Damono berjudul "Hujan Bulan Juni", maka remahan rengginang sepertiku akan menulis puisi berjudul "Hujan Bulan Mei". Jika Hujan Bulan Juni berisi perwujudan cinta dari dalam hati seseorang, maka Hujan Bulan Mei merupakan perwujudan rasa sakit dari seorang anak kecil yang masa depannya direnggut secara paksa.
Tiga belas Mei membawa setiap rekaman yang hingga detik ini belum bisa diredam. Setiap kali terlintas di ingatan, selalu ada tangis yang tumpah. Terkadang aku tertawa; mencoba untuk melupa, dan memaksa ikhlas pada garis takdir Sang Pencipta. Tapi ... tetap sakit yang kurasa.
Bertahun-tahun lalu, tepat di tiga belas Mei yang kelabu, aku kehilangan diriku yang dulu. Bocah kecil yang memiliki paras lugu, kini selalu menangis pilu. Hari itu, tak ada seorang pun yang peduli padaku. Meski aku meneriakkan pertolongan, memohon ampunan, pun memasang tampang kasihan, para durjana ini tetap mempersembahkan tubuhku kepada manusia bernafsu hewan.
Sampai pada sebuah tempat di bawah kolong jembatan, mereka beramai-ramai menggilir tubuh mungilku layaknya aku adalah seonggok daging yang pantas dihinakan. Aku meronta; mencoba melawan dengan menendang berkali-kali, tapi percuma. Manusia yang sudah dikuasai setan memiliki tenaga seratus kali lebih besar. Lagipula aku bisa apa? Mungkinkah bocah empat tahun bisa menang melawan beberapa orang pria dewasa? Tolong, bangunlah. Ini dunia nyata—tempat yang kejam bagi seorang bocah tidak berdosa.
Aku merasakan kulit-kulit berkeringat mereka menyentuh tubuhku. Beberapa di antaranya ada yang memegang kedua tanganku. Sedangkan seorang lagi mencoba meregangkan kakiku dan memaksa memasukkan benda keras ke dalam satu-satunya hal yang wajib kujaga sampai tiba waktunya menikah. Namun apa daya, aku tak memiliki kuasa untuk melawan manusia-manusia hina.
Tatkala benda asing itu merobek sesuatu di dalam sana, aku seketika berteriak. Tak perlu kujelaskan bagaimana rasanya. Cukup lihat bagaimana seekor predator seperti buaya memangsa rusa yang berada di pinggir sungai. Meski kaki rusa menendang ke sana kemari karena rasa sakit, sang predator tetap tak peduli. Tapi ini bukan kisah tentang buaya dan rusa.
Ini adalah kisahku. Kisah seorang bocah yang tidak berdaya atas tubuhnya. Mencoba berteriak untuk sekadar melampiaskan rasa sakit, namun dipaksa bungkam dengan sebuah tamparan hebat. Hingga akhirnya, bocah itu kehilangan kesadaran. Dia tidak merasakan apa-apa lagi dan mungkin saja kehidupannya akan berakhir tragis di tempat ini.
***
Apakah kalian pernah mendengar sebuah kalimat tentang "rezeki, jodoh, dan maut ada di tangan Tuhan"? Jika pernah, maka itulah yang sedang kualami sekarang.
Hingga detik ini, aku tak pernah menyangka jika Tuhan masih menginginkan aku ada setelah peristiwa yang mendesakku untuk tiada. Namun sesekali aku merasa kagum. Bocah empat tahun yang saat itu digilir beramai-ramai, yang tubuhnya ditemukan terkulai, sekarang masih bisa berdiri setelah diterpa badai. Meski jiwanya terpasung, kebebasannya direnggut, bahkan dipaksa melebur ke dalam dunia yang hancur; kaki-kakinya masih sanggup menapaki tanah subur sebab di bawahnya banyak mayat yang terkubur.
Aku terdiam di bawah langit malam, terkulai dan tak mampu bergerak meski sejengkal. Samar-samar aku mendengar suara beberapa orang yang menyuarakan keprihatinan. Mungkin mereka prihatin, mungkin pula jijik setelah melihat kondisi tubuhku yang sudah tidak berbentuk manusia.