Tidak ada yang berubah selama beberapa hari terakhir, kecuali kondisi fisikku yang berangsur-angsur pulih. Aku pun masih setia menyimpan pilu yang ditinggalkan bajingan-bajingan itu. Bagiku, tak ada yang lebih memilukan dibanding peristiwa Mei kelabu.
Jujur, sejak hari itu, aku tak pernah merasa tenang. Selalu ada hal yang mengganggu atau mungkin mengejarku. Entah apa, aku pun tak tahu. Setiap detik, aku selalu memusuhi diriku sendiri. Aku membenci diriku yang kotor dan hina. Rasa benciku telah sampai pada tahap di mana aku menganggap diriku adalah seburuk-buruknya manusia.
Aku turut membenci sosok laki-laki. Bahkan jika ada perempuan yang bergaya seperti laki-laki, aku tak segan-segan berteriak meminta pertolongan. Pernah suatu ketika, petugas laboratorium memasuki ruanganku. Katanya, dia ingin mengambil sampel darahku. Namun baru saja dia memperlihatkan sebagian tubuhnya, aku langsung berteriak seolah sedang melihat setan. Jika sudah begitu, memori tentang tiga belas Mei seketika berputar di kepalaku. Alhasil, beberapa perawat harus masuk ke ruangan untuk membuatku tertidur.
Di hari-hari yang damai, aku hanya duduk diam di atas bed pasien. Tiba-tiba aku tersenyum, lalu menangis dalam senyum. Terkadang tatapanku kosong, namun terkadang aku memusatkan pandangan dan mulai berpikir secara sederhana.
"Mengapa ayah dan ibu tidak mencariku?"
Aku bertanya mengapa, karena mereka adalah orang tuaku, satu-satunya hartaku. Hingga detik ini—entah hari keberapa sejak aku berada di sini—ayah dan ibu tidak pernah datang. Apakah mereka memang tidak mengetahui posisiku atau masa bodoh dengan kepergianku? Atau ... kehilangan kakak lebih penting daripada kehilanganku?
Padahal aku ingat betul sedihnya mereka saat kakak dikabarkan menghilang. Aku ingat saat ayah dan ibu menangis histeris; mengingat setiap detail raut terluka mereka. Pun mengingat dengan jelas, saat mereka memaksa keluar di tengah situasi kota yang kacau. Bocah yang sedang kesakitan ini, masih bisa mengingat semuanya dengan baik.
Waktu terus berlalu, tapi ayah dan ibu tak pernah mengunjungiku meski hanya sekali waktu. Aku selalu menganggap mereka penting, tapi mereka malah menganggapku asing. Aku tahu bahwa aku berbeda dari kakak. Meski terlahir dari rahim yang sama, saudara sedarah tidak bisa sepenuhnya sama. Namun, mengapa mereka tidak bisa memperlakukanku dengan cara yang sama agar bisa seirama?
Tak ada yang lebih menyesakkan dari ini. Kenapa mengingat kepedulian mereka pada kakak justru membuatku semakin terluka? Kapan aku bisa memenangkan pertarungan antar saudara untuk merebut segala sesuatu yang ada padanya hanya untukku seorang saja?
"Masih menangisinya?"
Aku terkesiap saat seseorang menyentuh lenganku. Tanpa membersihkan genangan air yang entah sejak kapan merembes di wajahku, aku menoleh kepada pemilik tangan itu. Ternyata itu adalah Kak Ita; yang selalu menemaniku pasca kejadian tiga belas Mei, yang selalu menuntun dan memberikan semangat agar aku harus hidup.
"Anes, aku tidak pernah melarangmu menangis. Menangislah jika kamu ingin menangis. Aku akan menemani sampai kamu bisa menguasai diri." Kak Ita duduk di samping bed pasien. Tangan kanannya diletakkan di atas pahaku. Kemudian, dia menatapku dengan matanya yang teduh.
"Menangislah, Aneisha ...."
Perkataan Kak Ita yang begitu lembut, membuat dadaku semakin sesak. Tangis yang sempat berhenti, kini kembali tumpah tanpa bisa dicegah. Perlahan kurasakan tubuh Kak Ita mendekatiku dan isakku bertambah keras manakala tangannya merangkulku dengan hangat.
Cukup lama aku menangis di pelukan perempuan yang kuanggap sebagai kakak. Ketika sudah tenang, dia mengusap sisa-sisa air di wajahku. Setelahnya, dia kembali duduk.
"Sudah tenang?" tanyanya.