Satu hari sebelum mengantar Aneisha pulang ke rumahnya, Ita bersama seorang rekannya yang bernama Kirana, mengunjungi rumah Aneisha untuk bertemu kedua orang tuanya. Kedatangan Ita dan Kirana disambut baik oleh Pramoedya yang sebenarnya tampak heran dengan kedatangan dua orang asing ke rumahnya.
"Kalau boleh tahu, ada hal apa yang membawa kalian kemari?" tanya Pram setelah mempersilakan kedua tamunya duduk pada kursi kayu di ruang tamu.
Ita dan Kirana sejenak saling melirik, sebelum Ita menghela napas lalu menatap ke arah Pramoedya yang sedang menanti keluarnya kalimat pertama dari mulut perempuan di depannya.
"Saya akan memperkenalkan diri lagi, Pak. Nama saya Ita," ucap Ita sambil meletakkan telapak tangan kanan di dadanya. Kemudian, telapak tangan kirinya diarahkan ke atas paha Kirana. "Ini rekan saya, Kirana," lanjutnya. Perkataan Ita disambut anggukan oleh Kirana.
"Pertama-tama, saya ingin meminta maaf karena baru bisa mengunjungi rumah Bapak hari ini. Ada beberapa hal yang terjadi di luar dugaan sehingga membuat saya bersama tim sedikit kesulitan mencari alamat rumah Bapak," jelas Ita diiringi nada menyesal dalam setiap perkataannya.
"Iya, tidak apa-apa. Jadi, ada perlu apa?" Pramoedya segera menjawab. Pria yang mengenakan sarung bermotif kotak itu tampak sedikit tidak sabar.
"Oh, iya. Saya tadi lupa mengatakan jika kami berdua berasal dari organisasi gerakan perempuan. Begini, Pak, apakah Bapak masih ingat dengan peristiwa tiga belas Mei?" Ita mulai menyinggung peristiwa kelam itu.
Raut wajah Pramoedya segera berubah. "Ya, saya ingat. Itu adalah hari di mana saya dan istri pergi mencari anak kami yang hilang. Tapi hingga detik ini, anak kami belum ditemukan," lirihnya dengan kepala tertunduk.
Ita merasa iba kepada pria di depannya. Ada rasa sedikit tidak tega saat ingin mengatakan peristiwa yang menimpa Aneisha. Hanya saja, mau tidak mau, suka tidak suka, Ita harus mengatakannya. Semua ini demi Aneisha; gadis kecil yang dicintainya.
Namun baru saja Ita ingin membuka mulutnya, seorang perempuan yang menggunakan daster berwarna merah lusuh, tiba-tiba mendekat dan membentaknya.
"Apakah kau tidak punya otak? Mengapa orang asing seperti kalian berani-beraninya menginjakkan kaki di rumah kami demi mengungkit sebuah luka? Apakah kalian sengaja ingin membuat kami kembali menangisi kepergian anak kami?" Suara bentakan perempuan itu semakin melemah karena isak tangis yang keluar dari mulutnya.
Walaupun sedikit kaget, Ita berusaha mengontrol diri. "Begini, Bu, kedatangan kami kemari hanya ingin memberi kabar mengenai kondisi anak Ibu," jelasnya dengan penuh kesabaran.