Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi. Sebab di hari kepulanganku ke rumah, aku justru takut melihat sosok ayah, Mang Rahadi, dan juga Batara. Aku berlindung dibalik punggung Kak Ita; melingkarkan tanganku di perutnya, seolah hal tersebut bisa menyelamatkan aku dari marabahaya.
Tampaknya, luka yang ditinggalkan para bedebah gila masih tersisa. Mereka berharap aku kalah; menyerah dengan keadaan, tapi sosok malaikat penyelamat selalu berhasil membawaku pulang.
Andai aku bisa mengulang waktu, aku ingin pergi pada masa di mana aku tidak mau keluar rumah meski sejengkal. Sebab, sebelum aku menginjakkan kaki di tanah, aku masih baik-baik saja. Ya, Andai.
Dua bulan telah berlalu setelah peristiwa menyakitkan itu. Mungkin bagi orang lain, melupakan hal yang terjadi selama rentang waktu itu adalah mudah. Tapi tidak denganku. Dua bulan adalah waktu yang sebentar untuk melupakan segala sesuatu yang tiap detik selalu menghantui. Semakin kucoba untuk melupa, ingatan menyakitkan itu makin berkelana dalam kepala.
Semuanya terasa sangat sulit. Apalagi saat aku di antar pulang ke sebuah tempat yang disebut rumah. Aku merindukan seluruh keluargaku. Tetapi ketika bertemu, aku justru berlindung dibalik punggung penyelamatku seperti habis melihat hantu. Aku tidak tahu ada apa denganku. Namun melihat wajah tiga pria yang menanti kedatanganku, dadaku seketika bergemuruh dan gerimis jatuh melalui mataku.
Penyelamatku segera memeluk tubuh gemetarku. Dia menyembunyikan wajahku, lalu mengelus rambutku. Kemudian, bisikan-bisikan penuh cinta dia lontarkan untukku.
"Sayang, tidak apa-apa. Jangan takut. Aku ada di sini. Aku akan selalu menjagamu. Oke?" Sesederhana itu kalimatmu. Namun berhasil menaklukkan ketakutanku.
"Sudah tenang?" tanyamu.
Aku mengangguk dari dalam dekapmu. Kemudian, kedua tanganmu diletakkan pada masing-masing pipiku. Aku menatapmu dengan pandangan mengabur. Lalu dengan usapan jemarimu, sisa air mataku yang menggenang, kini telah hilang.
"Temui keluargamu, Sayang. Aku tahu kamu anak yang kuat, Aneisha. Lawan ketakutanmu. Ingat, ada aku di hatimu," ucapmu kala aku sudah bisa melihat senyuman dibalik raut khawatirmu.
Aku mengangguk patuh. Kamu pun mengikuti gerakanku kemudian menggenggam erat tanganku seolah aku akan terjatuh jika tak digenggam dengan cara seperti itu. Kamu menuntunku mendekati keluargaku. Tubuhku yang tadinya telah diam, kini kembali gemetar tanpa bisa ditahan. Semakin dekat, semakin berat pula langkahku. Namun genggaman tanganmu seperti sebuah sihir yang bisa menyalurkan energi pada tubuhku.
Ketika aku telah sampai di depan orang-orang yang kusebut sebagai keluarga, aku memaksa tubuh dan otakku untuk mengikuti inginku. Dengan bibir yang entah sejak kapan ikut bergetar, aku ingin mengeluarkan kata rindu dan tanya pada mereka. Namun baru saja aku mau melakukannya, aku kembali diperlihatkan sebuah hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Mata ini pun seketika memerah dengan sendirinya. Sekali kejab, cairan bening dari kedua pelupuk akhirnya tumpah. Benar. Mereka ternyata menyambutku hanya untuk melukaiku.