Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata, “Sungguh, kita ini benar-benar orang-orang yang sesat (jalan). Bahkan kita tidak memperoleh apa pun.” Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?” Mereka mengucapkan, “Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim. Lalu mereka saling berhadapan dan saling menyalahkan. Mereka berkata, “Celaka kita! Sesungguhnya kita adalah orang-orang yang melampaui batas.” Mudah-mudahan Tuhan memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada ini, sungguh, kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita.
Di Kota Dharawan, sekitar 2 farsakh1 dari Shan‘a, ibu kota Yaman, seperti yang dinukil Syaikh Ibnu Asyur dalam Al-Tahrîr wa Al-Tanwîr, barisan kebun terlihat rapi seperti gigi yang berjejer sama rata. Kebun-kebun itu indah dengan hiasan aneka ragam tanaman hijau yang tumbuh mengelilingi pohon-pohon kurma atau hidup di sela-sela pelepah kurma yang rindang. Saat panen raya tiba, para petani pergi ke kebun sambil bersumpah serapah. Kali ini, untuk tidak mengikutsertakan fakir miskin atau tidak memberikan hak mereka atas zakat perkebunan.
“Esok, kita panen raya. Tidak ada satu pun fakir miskin yang ikut kali ini. Mereka tidak berhak mencicipi satu biji kurma pun dari hasil kebun itu, apalagi mengulurkan tangan meminta zakat seperti hari-hari kemarin,” tegas para pemilik kebun.
Pada malam hari, tanpa mereka ketahui, kebun-kebun tersebut dilahap si jago merah. Semuanya terbakar. Tidak ada yang tersisa, kecuali abu hitam yang mengembuskan ketakutan seperti malam yang gelap gulita.
Mereka tidur nyenyak dan bermimpi indah pada pagi hari memetik satu per satu hasil tanaman yang menjanjikan kesejahteraan hidup dan kejayaan duniawi.
“Wahai Saudara-saudaraku, cepatlah bangun dan siapkan bekal makanan dan minuman yang cukup untuk mengisi stamina kita yang akan terkuras kala memetik hasil kebun,” ucap mereka.
Dengan penuh harapan dan semangat, mereka berjalan pelan-pelan seperti konvoi semut yang nyaris tidak terdengar suaranya. Mereka tidak ingin didengar fakir miskin, apalagi mengajak mereka menyaksikan panen raya. Dengan volume suara yang rendah, mereka berkata, “Hari ini kita akan berpesta pora. Jangan biarkan satu pun dari mereka (fakir miskin) menyelinap di tengahtengah kalian, apalagi ikut memetik pohon kurma kalian. Kali ini kita mampu mencegah dan mengusir mereka.”
Tidak lama kemudian, mereka tiba di kebun. Mereka dikejutkan dengan pemandangan yang tampak di depan mata. Mata bulat mereka melotot tajam, meratapi nasib kebun-kebun yang hangus terbakar. Kini, yang tersisa hanyalah debu hitam yang beterbangan menari-nari ke sana kemari menerpa muka mereka yang masam. Sungguh menyakitkan!
“Sungguh kita telah tersesat jauh. Bukan hanya itu, kita pun tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil panen raya kebunkebun itu,” ucap mereka dengan penuh penyesalan.
“Bukankah saya pernah mengingatkan kalian untuk memuji Tuhan dan tidak memalingkan muka dari fakir miskin yang mempunyai hak atas harta kalian seperti pada panen raya kali ini?” kata salah seorang dari mereka yang tersadar.