Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #3

Kala Sore Kesempatan Datang

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!"

“Gagal! Kamu nggak berguna!”

“Minggat dari rumah ini! Aku nggak sudi punya anak seperti kamu!”

“Ertha!” 

Panggilan dan ketukan di pintu membuyarkan lamunan tentang masa lalu yang masih menyakitkan. Padahal itu sudah terjadi dua tahun lalu tapi rasanya seperti baru saja aku dimaki-maki seburuk itu.

“Ertha!” 

Buru-buru, aku berkaca dan mengelap jejak-jejak air mata yang mengalir di pipi sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. “Iya, sebentar!”

Rupanya, melamun bisa sangat membunuh waktu. Tahu-tahu matahari sore sudah menyelinap melalui celah-celah jendela kamar. Ia menyorot kondisi kamarku yang berantakan. Jika langit dapat berbicara kepadaku, ia pasti akan mengomentari diriku yang pemalas dan menyedihkan dengan buku-buku berserakan di antara lautan kertas yang berceceran. 

Seharian ini aku hanya duduk di depan laptop tanpa menghasilkan apa-apa. Frustrasi menggerogotiku, layaknya hewan buas yang mengoyak dan melahap kreativitas yang ada di dalam kepala. Hingga akhirnya, tidak ada satu pun ide yang bisa kutumpahkan dalam tulisan dan malah berujung melamunkan memori kelam itu.

Kuhela napas dengan berat. Bergerak secepat mungkin untuk menutup laptop dan mencoba merapikan sedikit kekacauan di kamar sebelum membukakan pintu untuk Ulil, temanku yang paling rajin mampir ke indekosku.

"Lagi apa?" Ini adalah cara Ulil menyapaku. Ia selalu menganggapku sebagai manusia paling sibuk, dan itu membuatnya merasa menjadi manusia paling gabut. Itulah kenapa aku langsung menutup laptop supaya terlihat sama gabutnya. 

"Nggak lagi apa-apa," jawabku yakin.  

"Bohong," tukasnya sambil menelisik ruang kamarku. Ia bahkan membuka laptopku dan menemukan bukti bahwa aku telah menipunya. "Seorang Ertha seharian nggak ngapa-ngapain?! Nggak mungkin! Minimal laptop pasti selalu nyala.” 

"Lagi nulis apa lagi sekarang?" Ulil tidak akan pernah puas bertanya sebelum pertanyaannya aku jawab dengan benar.

Aku menggeleng dan mengeluh, "aku belum nulis apa-apa. Buntu banget, nggak ada ide yang muncul."

“Yah, sayang banget. Padahal aku ke sini mau ngasih tahu sesuatu.”

“Apa?”

Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah balik bertanya dengan panik sambil merogoh tas dan kantong jaketnya. “HP-ku di mana, ya, Er?" 

“Mana aku tahu?” jawabku dengan keheranan. Tapi tak urung, aku beranjak dari dudukku, berjalan keluar kamar, dan menemukan ponselnya di sana. Aku sudah hafal kebiasaannya yang suka menaruh barang di sembarang tempat.

"Nih, kamu taruh di rak sepatu lagi!" Aku menyerahkan ponselnya. 

Lihat selengkapnya