Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #3

Kala Sore Kesempatan Datang

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!"

“Gagal! Kamu nggak berguna!”

“Minggat dari rumah ini! Aku nggak sudi punya anak seperti kamu!”

Dulu, ketika aku masih kanak-kanak, tidak terhitung lagi sudah berapa kali aku terjatuh saat bermain sepeda ataupun saat berlarian. Selalu ada bagian tubuhku yang luka, entah itu siku atau lututku yang berdarah. Semua itu menimbulkan rasa sakit, membuatku menangis, dan meninggalkan bekas luka. Tetapi mungkin tidak sampai satu minggu, aku sudah mampu melupakan rasa sakitnya. Bahkan, seiring dengan berjalannya waktu, bekas luka itu tidak lagi ada. 

Namun, rupanya tidak semua luka akan berakhir sembuh dan bekasnya hilang. Ternyata ada luka yang meskipun musim berganti, bersikap hati-hati, tetapi tetap saja tergali. Apalagi ketika sedang menikmati sepi. Hanya dengan mengingatnya saja—tanpa ada goresan luka baru—sakitnya masih terasa sama, tangisnya juga tetap ada. 

Mungkin, ketika aku terjatuh saat mengayuh sepeda atau berlarian, aku bisa belajar untuk tidak mengulangi kesalahan yang membuatku badanku sakit. Berbeda dengan yang satu ini, mau sebanyak apapun aku belajar menghindarinya, aku akan tetap jatuh; belajar dan bangkit lagi, lalu didorong jatuh lagi.

Sebuah siklus musim yang sama, yang tidak bisa kuhindari meski aku pergi ke ujung dunia.


⁂​


“Ertha!” 

Suara ketukan pintu menarik kembali kesadaranku dari luka dua tahun lalu yang masih menyakitkan. Seolah itu baru saja terjadi tadi malam dan meninggalkan sesak yang membuat perasaanku mendung seharian.

“Ertha!” 

“Iya, sebentar!” Buru-buru, aku berkaca dan mengelap jejak-jejak air mata di wajahku.

Aku menghela napas panjang setelah menyadari kamarku yang berantakan. Sinar matahari sore yang menerangi ruangan ini hanya menambah rasa malas di hatiku. Mungkin jika ia bisa bicara, ia akan menyebutku pemalas yang menyedihkan.

“Keluar, yuk!” ajak Ulil, teman baikku—satu-satunya yang paling rajin datang ke indeskosku—setelah aku membukakan pintu untuknya. 

“Ke mana?”

Jogging.” Tetapi yang ia lakukan berbanding terbalik dengan ucapannya, ia malah masuk ke dalam kamar dan duduk di atas kasur. Aku yakin tidak lama lagi dia pasti sudah merebahkan tubuhnya di sana. 

Jogging, ya?” sindirku sambil melipat tangan dan menatapnya dengan tatapan pura-pura serius. “Paling ujung-ujungnya makan bakso di pinggir danau.”

“Oh itu, sih, harus!” jawabnya sambil tersenyum lebar sebelum kemudian merebahkan diri. “Satu jam lagi, ya, Er. Aku pemanasan dulu di sini.”

“Pemanasan tidur?” balasku dengan terkekeh.

Dia menyengir, tandanya tebakanku benar. 

“Rasanya gabut benget nggak, sih, hari ini?”

“Lumayan,” jawabku setelah mengingat kegiatan hari ini yang hanya duduk di depan laptop dengan pikiran yang ke sana-ke mari.

Lihat selengkapnya