Aku melangkah perlahan di atas trotoar yang setiap hari kupijak di masa lalu. Di depanku, Sekolah Menengah Atas itu, seperti rumah tua yang masih tegar berdiri meskipun usianya sudah hampir satu abad. Bangunan itu terlihat sama megahnya seperti yang kuingat. Semuanya—sekaligus angin sore yang menyapu wajahku, membawa aroma kenangan yang terasa semakin kuat dengan setiap nafasku.
Menuruti perkataan Bumi—adikku—aku datang ke sekolah lamaku di hari Minggu pukul 4 sore. Katanya, akhir pekan ini klub ekskulnya sedang ada kegiatan malam pengakraban dan baru akan berakhir sore ini, sehingga sekolah diberlakukan clear area.
Aku memilih duduk di depan pos satpam, menunggu kegiatan klub tersebut berakhir. Sambil membunuh waktu, aku menggoreskan ide-ide yang muncul di kepalaku ke buku catatan. Melengkapi alur cerita yang berhasil aku temukan saat berada di dalam kereta tadi. Tidak lupa juga untuk mengabadikan sudut halaman sekolah yang kini tampak begitu asing.
Sekolah yang pernah menjadi tempat untuk menghabiskan sebagian besar hariku, kini terasa jauh dan terjangkau. Jika diberi kesempatan satu hari untuk mengulang waktu di masa lalu, aku ingin kembali menjadi anak SMA dan menghabiskan hari di sini.
“Boleh saya duduk di sini?”
Lamunanku berhenti. Di depanku, ada seorang pria paruh baya yang tersenyum sambil menunjuk bangku yang kosong di sampingku. Aku mengangguk, mempersilahkannya.
Pria yang aku taksir usianya sekitar 65-an tahun itu mengajakku berbicara, awalnya hanya percakapan basa-basi, tapi kemudian ia mulai bercerita tentang cinta pertamanya, yang menjadi alasannya datang ke sekolah sore ini.
“Cinta pertama saya adalah orang yang sama yang telah menjadi istri saya. Walau dia sudah meninggal, dia akan tetap menjadi cinta sejati saya, karena meski raganya sudah tidak ada, kenangan tentangnya selalu bisa menjadi sumber kekuatan dan kehangatan untuk hidup hingga sekarang.”
Hatiku tersentuh saat mendengarkannya. Aku menimpali percakapannya, dan pria itu terus bercerita tentang kisah cintanya seraya terus tersenyum. Seolah senyumannya menyiratkan kerinduan yang sangat dalam.
“Ah, ada satu momen yang paling saya ingat, momen di mana kami pertama kali bertemu di bawah Rinjani.” Jari telunjuknya terulur ke satu-satunya pohon beringin yang ada di halaman depan sekolah.
“Ternyata itu bukan hanya sekedar mitos, ya, Pak?” timpalku saat teringat selentingan dari teman-temanku soal pohon beringin itu.
“Mungkin, ya?” Pria itu tertawa pelan. Lalu ia kembali meneruskan pertemuan pertama dengan cinta sejatinya. Kisah cintanya bermula seperti lagu-lagu cinta yang sering kudengar, dari mata turun ke hati.
“Meskipun waktu telah merenggutnya, cinta dan kenangan kami tetap abadi di dalam hati.” Pria itu menempelkan tangannya di depan dada.
Baru kali ini aku mendengar seorang laki-laki benar-benar mendefinisikan kata cinta dengan indah. Ternyata ada, ya? Laki-laki yang menghayati perasaannya, mencintai dengan tulus pasangannya, bahkan ketika mereka tidak lagi bisa hidup bersama. Kira-kira di mana, ya, aku bisa menemukan pasangan seperti pria paruh baya di sampingku ini?
Namun aku sangat penasaran, apa yang membuat pria di sampingku ini bisa jatuh cinta pada mendiang istrinya.
“Apa yang membuat saya jatuh cinta padanya? Hmm, mungkin karena kebaikan dan kelembutan yang selalu ada dalam dirinya. Tapi dia juga punya keberanian menghadapi tantangan dan mengambil risiko untuk hal-hal yang diyakininya. Dia selalu menjadi inspirasi untuk saya, dan itu yang membuat saya selalu jatuh cinta dengannya setiap hari.”
“Sangat sempurna sekali, ya, pantas Bapak jatuh cinta kepada ibu,” ujarku dengan penuh kekaguman.
“Iya.” Ia mengangguk dengan serius. “Oh satu lagi, bersamanya membuat saya merasa seperti menemukan rumah yang sejati, tempat di mana saya bisa menjadi diri sendiri tanpa rasa takut atau cela.”