Pemandangan malam di balik jendela berbaur buram, tersapu laju kereta. Gemuruh roda kereta di atas rel terdengar terdengar seperti lagu melankolis, yang mengingatkanku pada kenangan masa lalu. Terutama saat mengingat ucapan pria paruh baya yang kutemui di halaman sekolah tadi.
“Ketika ada cinta untuk seseorang, itu harus diungkapkan.”
Kalimat itu seolah membongkar memori dan perasaan yang selama ini aku sembunyikan. Ucapan itu menyadarkanku pada satu nama yang tidak pernah hilang di ingatanku meskipun ada banyak memori baru yang terbentuk.
Saat aku bertanya, mengapa cinta harus diungkapkan, pria paruh baya itu menjawab, “sebab cinta bagai bunga yang mekar di taman hati. Biarkan ia terbuka, biarkan ia tumbuh, dan biarkan dunia mengetahui keindahannya.”
Tapi…, mengungkapkan perasaan?
Sejak kapan itu jadi hal yang mudah untuk dilakukan?
Mengajaknya berbicara basa-basi saja aku tidak bisa, apalagi mengajaknya bicara untuk mengungkapkan perasaan?
Seperti lelucon yang kerap dikatakan oleh para komika, frasa itu bagai ‘dua kata lucu’ yang pernah ada di kepalaku. Sedetikpun tidak pernah terlintas di kepalaku untuk melakukannya. Karena, mana mungkin aku berani? Mana mungkin dia mau mendengarkan ungkapan perasaanku?