“Jadi, menurut kalian gimana kalau cewek yang mengungkapkan perasaan lebih dulu ke cowok yang dia suka?” tanyaku sambil berusaha menjaga nada suaraku tetap santai di kala hatiku berdebar dengan gila. Aku berusaha bersikap seolah-olah itu hanya pertanyaan untuk pengembangan novel yang sedang kutulis, bukan karena sesuatu yang mengusik pikiranku belakangan ini.
“Ini kamu mau confess beneran?” tebak Nona, matanya mengintai dengan penuh rasa penasaran.
“Enggak, Na.” Aku menghindari tatapannya, berpura-pura sibuk mengaduk minuman di depanku. “Lagian aku mau confess ke siapa, sih?” cengirku.
“Ke Tama lah,” jawabnya yang membuatku langsung mengelak.
“Hei!” Ijah juga langsung protes. “Tama itu crushi-ku, bukan Ertha!”
“Lho? Selama ini yang suka sama Tama itu Ijah? Bukan Ertha?” Nona terlihat terkejut.
“Bukan!” bantahku, Ijah, dan Ulil serempak.
“Ih, aku pikir Ertha yang terjebak friendzone sama Tama. Soalnya kamu yang kelihatan deket sama cowok itu.”
“Bener, sih. Tapi bukan terjebak friendzone juga,” bantahku sekali lagi.
“Makanya kalau selesai kuliah jangan langsung cabut sama pacarmu, ketinggalan gosip kita kan jadinya?” sindir Ulil dan Nona menyengir sambil minta maaf.
“Oke, kita kembali ke topik Ertha.” Ulil menjentikkan jarinya. “Cewek confess duluan ke cowok? Ya, nggak masalah. Karna nggak ada aturan yang mewajibkan cowok harus menyatakan perasaan duluan, kan?”
“Yang ada malah keburu tua kalau cuma nunggu cowok confess duluan, apalagi kalau cowoknya bukan tipe cowok yang peka. Iya nggak, sih?” sahut Ijah menambahi. Aku mengedikkan bahu, entah lah. “Selama si cowok belum punya pasangan, nggak apa-apa untuk confess duluan. Yang penting, jangan rebut pacar orang.”
“Aku nggak setuju,” potong Nona.
Aku, Ulil, dan Ijah yang bertanya serempak, “kenapa?”
“Menurutku, memang sudah kodratnya perempuan harus menunggu. Dan udah jadi tugas cowok untuk ngejar perempuan.”
“Eh, sejak kapan ada pembagian tugas macam itu? Emangnya lagi kerja kelompok?” sahut Ulil dengan bercanda, membuat kami tertawa.
Nona berbicara lagi, “cewek itu harus diperlakukan spesial. Kalau cowoknya beneran suka, dia pasti bakal confess duluan. Lagian ngapain ngungkapin perasaan lebih dulu? Gimana kalau ditolak?”
“Gimana kalau diterima?” celetukku. Meski aku juga tidak yakin, aku mencoba mengimbangi jawaban Nona dengan kemungkinan terbaiknya. Karena hidup memang selalu ada dua kemungkinan, kan?
“Ya, bagus kalau begitu,” jawab Nona sambil tertawa kecil. “Tapi aku nggak bisa kalau harus mengungkapkan perasaan lebih dulu. Aku takut ditolak. Daripada sakit hati, lebih baik nunggu cowok yang nembak duluan ke aku.”
“Tapi gimana kalau cowoknya cuek dan nggak tahu kalau selama ini ada yang suka sama dia? Kan nggak mungkin cowoknya bakal nembak duluan,” sela Ijah.