Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #6

Pada Pandangan yang Beragam

"Jadi, menurut kalian gimana kalau cewek yang mengungkapkan perasaan lebih dulu ke cowok yang dia suka?" tanyaku sambil berusaha menjaga nada suaraku tetap santai, meskipun hatiku sedikit berdebar. Seolah-olah itu hanya pertanyaan untuk pengembangan novel yang sedang kutulis, bukan karena sesuatu yang mengusik pikiranku belakangan ini.

Setelah melontarkan pertanyaan itu, aku segera menyesap es jeruk pesananku. Rasanya begitu melegakan, seakan kata-kata yang sempat menyesakkan diriku selama beberapa hari ini telah luruh bersama aliran air yang mengalir di tenggorakanku.

"Ini kamu mau confess beneran?" tanya Nona, matanya mengintai dengan penuh rasa penasaran.

"Enggak, Na.” Aku menghindari tatapannya, berpura-pura sibuk mengaduk minuman di depanku. Lalu, aku bertanya balik  seolah tidak peduli. "Lagian aku mau confess ke siapa, sih?" 

"Siapa tahu kamu mau confess ke Tama?" sindirnya dengan tawa kecil.

"Hei!" sahut Ijah dengan cepat, wajahnya menujukkan ketidaksetujuan. "Tama itu sama aku, bukan sama Ertha."

"Lho? Selama ini yang suka sama Tama itu Ijah? Bukan Ertha?" Nona terlihat terkejut. “

"Bukan!" bantahku, Ijah, dan Ulil serempak.

“Ih, aku pikir Ertha yang terjebak friendzone sama Tama. Soalnya kamu kelihatan dekat sama cowok itu.”

“Ya bener kami dekat, tapi bukan terjebak friendzone juga,” bantahku sekali lagi.

"Makanya kalau selesai kuliah jangan langsung cabut sama pacarmu, duduk-duduk manis dulu lah sama kita," sindir Ulil.

Lalu, dia menjentikkan jarinya, menandakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya dengan serius. "Oke, kita kembali ke topik Ertha. Cewek confess duluan ke cowok? Wajar-wajar aja kok. Aku setuju. Toh, emansipasi wanita sudah ditegakkan. Jadi, kenapa harus menunggu cowok confess duluan?"

"Keburu tua kalau cuma nunggu terus, iya nggak, sih?" sahut Ijah menambahi. Aku melihat Ulil mengangguk-angguk. "Selama si cowok belum punya pasangan, nggak apa-apa untuk confess duluan. Yang penting, jangan sampai merebut pacar orang aja."

Nona tiba-tiba memotong dengan nada yang berbeda, “nggak, aku nggak setuju.” 

Aku mengernyit, begitu juga Ulil dan Ijah yang bertanya serempak, "kenapa?"

"Menurutku, memang sudah kodratnya perempuan harus menunggu. Dan sudah jadi tugas cowok untuk mengejar perempuan."

"Nggak bisa gitu, dong!" Ulil membantah tidak terima.

Nona mengangkat tangannya, tanda ia tidak mau disela. "Cewek itu harus diperlakukan spesial. Kalau cowoknya beneran suka, dia pasti bakal confess duluan. Lagian apa gunanya mengungkapkan perasaan lebih dulu? Itu akan bikin segalanya makin rumit dan menyakitkan. Gimana kalau ditolak?"

"Gimana kalau diterima?" celetukku begitu saja. Hidup memang selalu ada beberapa kemungkinan, kan? Jika Nona mempertimbangkan kemungkinan terburuknya, aku mencoba mengimbangi dengan kemungkinan terbaiknya.

"Kamu memang orangnya optimis ya, Er? Kalau aku nggak bisa harus mengungkapkan perasaan lebih dulu ke cowok. Aku takut ditolak. Daripada makin menderita, lebih baik nunggu cowok yang confess duluan ke kita."

Lihat selengkapnya