Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #9

Bulan Datang Mendekat

Minggu, Juli 2016.

Hari Minggu yang lebih cocok dihabiskan untuk bersantai, kali ini tidak berlaku. Pagi-pagi buta aku sudah bersiap, meski ujung-ujungnya aku tetap kesiangan saat tiba di sekolah. Matahari mulai merangkak naik, memberikan cahaya hangat di lapangan yang sudah dipenuhi siswa-siswa baru yang berbaris rapi. Melihat itu, kakiku semakin cepat berlari masuk ke halaman sekolah, berusaha keras mencari teman-teman kelasku di antara lautan putih abu-abu. 

Aku masih mengatur napas saat sudah duduk di samping Mora, "tenang, hari ini hari bebas hukuman." Kata-katanya bagai oase di tengah gurun yang berhasil melegakan ketakutanku yang sempat membayangkan harus dikenai sanksi lagi. 

“Tapi sebagai gantinya kita harus duduk di pinggir lapangan sampai nanti siang. Males banget,” gerutu Jalila.

“Emang agendanya apa?” tanyaku setelah meneguk air minum. 

“Parade ekstrakurikuler.”

Suara musik mulai terdengar, dan dua pembawa acara mulai membuka kegiatan. Aku hanya mengangguk-angguk menanggapi Mora meski sebenarnya aku belum paham apa aktivitas hari ini. Yang pasti, aku bersyukur karena hari ini bebas dari hukuman.

Setiap hari, aku bangun sebelum fajar dengan mata yang masih berat akibat begadang untuk menyelesaikan tugas. Di sekolah, rutinitasku tidak lebih baik—kegiatan yang padat, tugas menumpuk, dan masih harus berhadapan dengan panitia kedisiplinan yang selalu mencari kesalahan. Yang terakhir itu selalu membuatku merasa di ujung tanduk, jantung berdebar tidak tenang setiap kali duduk di kelas dengan hawa dingin yang menusuk kulit.

Shock therapy, sebutan keren untuk evaluasi dari panitia kedisiplinan yang ada di sekolahku. Seperti namanya, evaluasi ini selalu mengejutkan, seringkali disertai teriakan dan tuduhan tanpa kesempatan untuk membela diri. Walau sudah terbiasa—menghadapi semacam ini ketika di rumah, bukan berarti aku bisa merasa nyaman. Tidak. Tidak sama sekali. Aku bahkan benci dengan diriku sendiri karena tetap merasa takut, tetap merasa cemas, dan membuatku merasa tidak nyaman dengan diriku sendiri. 

Terlepas dari rutinitas yang menekan itu, aku tidak akan pernah berani absen dari kegiatan. 

Dengan buku di atas pangkuanku, aku mencatat nama-nama klub ekstrakurikuler yang tampil. Aku terpesona oleh banyaknya klub ekstrakurikuler yang ada di sekolah ini. Penampilan mereka yang sangat kreatif, membuatku ingin terlibat di semua kegiatan klubnya. Sayangnya, keikutsertaan kami di klub ekstrakurikuler dibatasi, maksimal mengikuti dua kegiatan. Dan aku masih bingung harus memilih yang mana.

Jalila berseru dengan penuh semangat, “aku mau gabung OSIS dan Amor Bumi.” 

“Kalau aku pengen nyoba klub olimpiade dan Terantang,” timpal Mora tanpa keraguan sama sekali.

Amor Bumi adalah klub pecinta alam. Sementara Terantang—bukan kotak makan—melainkan akronim Teater Para Bintang—adalah klub teater. 

Lihat selengkapnya