Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #14

Membuka Persimpangan Kala Ragu Kembali

Rabu, Agustus 2016.

Di kantin, banyak orang berjubel di depan meja makanan. Aroma harum dari nasi dan ayam goreng yang baru matang menguar di udara, mengundang rasa lapar di perutku. Suara sendok dan gelas beradu, diiringi obrolan dan tawa yang menggema, menciptakan simfoni keramaian khas kantin sekolah. 

"Bu, nasi goreng satu! Nasi ayam satu!"

"Iya! Sebentar! Sabar, ya!" Terdengar sahutan dari ibu-ibu penjual nasi di kantin yang kewalahan menangani banyaknya pembeli. 

Selesai membeli sebuah donat, aku duduk di salah satu bangku yang ada di kantin, menunggu Jalila yang masih mengantre. Dari tempatku, aku bisa mengamati Jalila yang seringkali menyapa dan membalas sapaan orang-orang, baik kakak kelas ataupun teman seangkatan. Bagaimana, ya, rasanya dikenal banyak orang? Kelihatannya sangat menyenangkan ketika saling bisa bertemu satu sama lain dan membicarakan berbagai hal. Kadang, aku ingin menjadi seluwes Jalila, tapi aku sadar itu juga akan melelahkan bagiku. 

"Ayo, Er. Sorry lama, tadi sambil diajak ngobrol jadinya pesananku disela terus," jelas Jalila sambil membawa dua bungkus nasi di tangannya. Pada saat itu juga, suara bel istirahat selesai telah berbunyi. "Yah, udah masuk," gerutunya.

"Jam kosong, deh, kayaknya setelah ini."

"Emang iya?"

Aku mengangguk. "Minggu lalu dikasih tahu kalo pelajaran Sejarah hari ini bakal dikasih tugas, karena Pak Joko ada rapat."

"Oh pantes…. tadi ada guru piket yang ngasih tugas ke kelas. Males banget, deh, tugas-tugas mulu," gerutunya lagi. Meski, aku merasakan hal yang sama tapi aku hanya tersenyum tipis. Ikut menggerutu tidak akan membuat tugasnya berkurang dengan sendirinya. 

"Kamu nanti datang ke kumpul rutin Focus lagi kan, La?" tanyaku dengan sangat antusias saat teringat hari ini adalah hari Rabu, hari jadwal kumpul rutin klub fotografi. 

Tapi melihat Jalila yang menepuk dahinya, aku merasa ada yang janggal. "Aku lupa bilang, Er. Aku nggak tertarik masuk Focus. Kemarin aku cuma mau nemenin kamu TM aja."

"Oh…." Aku mendesah kecewa, tapi buru-buru aku menutupi perasaan itu. "Makanya kamu tiba-tiba keluar dari grup chat Focus, aku pikir salah pencet atau gimana."Aku tertawa kecil.

Suara tawa Jalila terdengar. "Enggak. Aku memang sengaja keluar."

"Aku nggak bisa fotografi. Lihat karya-karya mereka kemaren, bikin aku jadi makin minder," lanjutnya.

Sontak dalam hatiku menjerit, "sama!!!" 

Tapi aku tidak mungkin berkata jujur bahwa aku tidak berbakat dalam fotografi. Jika aku ucapkan isi hatiku, aku takut Jalila akan mengecapku sebagai orang yang tidak sadar diri.

“Udah tahu nggak bisa fotografi, kenapa sok-sokan ikut klub fotografi?” mungkin komentar itu yang akan keluar darinya. Mungkin aku akan sakit hati jika mendengarnya. Jadi, daripada aku mengaku tidak bisa fotografi, lebih baik aku diam saja, pura-pura bisa. 

Meski begitu, bukan berarti aku tenang-tenang saja. Sisa langkahku saat kembali ke kelas terasa berat. Kegelisahan menyelimutiku, membayangkan datang seorang diri di lingkungan yang asing membuatku ketakutan.



"Woah!!!" 

Aku berjengit saat masuk ke dalam kelas. Suara tawa terbahak-bahak milik Naya dan Aura menggema di ruang kelas. Mereka sepertinya sedang asyik menonton drama di layar laptop. Aku tahu itu karena mereka hobi menonton saat pulang sekolah, dan suasana heboh seperti ini sering terjadi.

"Nonton apa, sih?" Jalila menghampiri mereka dan bertanya. 

Lihat selengkapnya