November, 2021
Senyumku mengudara setelah mengenang momen di masa lalu.
Itu adalah kali kedua di mana aku mengikuti kata hatiku. Sebuah keberanian lain yang tidak kusangka ada di dalam diriku. Aku masih ingat dengan jelas dengan dua keputusan impulsif yang pernah kuambil. Tindakan yang mungkin bagi orang lain terlihat ceroboh, tapi bagiku merupakan langkah berani untuk keluar dari zona nyaman. Kadang, aku menyebutnya sebagai sebuah kebodohan yang pernah aku lakukan di dalam hidup. Namun, aku tidak menemukan sedikit penyesalan pun atas semua itu.
Seringkali, ketika tidak sengaja mengingat momen di kala aku masih menjadi siswa berseragam putih abu-abu, rasanya seperti meminum kopi: pahit namun manis. Salah satu hal yang aku benci—dan yang kemudian aku tidak tega membencinya—adalah keikutsertaanku di klub fotografi. Rasanya seperti salah membeli minuman. Aku tidak menyukai rasa pahit, tetapi aku malah membeli kopi. Akhirnya, diriku sendiri yang kesusahan karena kecerobohanku. Meski terpaksa meminumnya, akan tetapi ternyata rasanya tak seburuk itu. Walau tetap pahit, ada kalanya itu terasa manis. Seperti ketika aku mendengar dia menyebut namanya, Chandra Kalani. Namanya bagaikan melodi yang menenangkan jiwa dan membuka pintu rasa ingin tahuku.