November, 2021
Selasar kampus sedang ramai-ramainya, dipenuhi oleh mahasiswa yang sibuk dengan aktivitas mereka. Berisik obrolan dan tawa menyatu dengan gemericik air hujan. Termasuk aku yang menjadi bagian dari salah satu di antara mereka, terlibat dalam diskusi kelompok sambil menunggu hujan reda.
Aku tetap memilih duduk sendirian di selasar kampus begitu kerja kelompok telah selesai. Buku-buku kuliah yang sempat berserakan di atas meja berganti dengan catatan-catatan untuk novelku. Namun, mataku hanya menatap kosong ke arah pepohonan, menghirup udara dingin sisa hujan sebanyak mungkin. Berharap kesegaran ini dapat menghilangkan penat yang sedang aku rasakan.
Menjelang ujian akhir semester, banyak tugas mandiri dan proyek kelompok yang harus segera diselesaikan. Belum lagi, serangan writer’s block juga membuatku semakin tercekik. Rasanya, waktu cepat berlalu begitu saja dan aku belum berhasil menyelesaikan apa-apa. Aku mendambakan waktu agar berhenti sesaat, memberikan jeda dari semua beban yang terasa begitu berat.
Ponselku bergetar di atas meja, memecah keheningan yang melingkupiku. Sebuah notifikasi email masuk, memberitahukan jadwal kuliah besok. Ada dua mata kuliah yang akan dilakukan secara daring.
Sepertinya pulang ke rumah bisa menghilangkan penat, pikirku.
Kulihat jam di layar ponsel, masih ada waktu 40 menit sebelum kereta selanjutnya tiba. Aku buru-buru mengemasi barang-barangku, memutuskan untuk pulang ke rumah. Mungkin dengan menikmati perjalanan di kereta, aku bisa mengembalikan inspirasi yang hilang.
Namun, harapan itu pupus seketika saat aku tiba di rumah. Begitu membuka pintu pagar, aku menemukan jejak-jejak Bapak yang sedang ada di rumah—bekas sepatu yang kotor, jaket yang tergeletak asal di kursi teras, dan suara televisi yang terdengar dari dalam rumah. Hatiku mulai resah, aku tahu bahwa tak akan ada ketenangan untuk hari ini.
Aku mendesah kesal saat suara keributan itu mulai terdengar di telinga. Seperti biasa, mereka berdua akan selalu berselisih. Yang satu hanya bisa menyalahkan dengan amarah yang tidak habisnya, sementara yang satu lagi tak henti-hentinya bertahan, meski selalu berakhir kalah karena mengalah..
"Kamu selalu saja seperti ini, tidak pernah peduli!" Suara Ibu meninggi, nyaring menyayat. Baru kali ini kudengar Ibu berbicara sekencang itu, mungkin kesabarannya sudah habis tak bersisa.
"Aku sudah bilang, ini bukan salahku!" Lagi-lagi, hanya pembelaan diri serta gertakan penuh amarah dan kepongahan. Setiap ucapannya seperti percikan api yang memicu ledakan berikutnya.
Kebencian mengalir dalam diriku, kehadiran dan seluruh ucapan yang Bapak lontarkan hanya racun yang semakin merusak jiwa.