Kamis, September 2016.
Langit gelap perlahan digantikan dengan semburat oranye dan merah muda di ufuk timur. Udara pagi terasa segar, dengan embun yang masih melekat di dahan-dahan pohon di pinggir lapangan sekolah, menciptakan suasana yang sejuk dan damai. Sekolah masih terlihat tenang, bahkan jalan raya pun masih lengang, belum banyak kendaraan bermotor yang melintas. Namun, lapangan sekolah sudah ramai dengan hiruk pikuk aktivitas olahraga.
Selepas berlari sprint secara bergantian mengelilingi lapangan, aku, Mora, dan Jalila duduk selonjor di bawah pohon beringin. Aku masih mengatur napas, menghirup dalam-dalam udara pagi yang masih segar. indra penciumanku dimanjakan dengan aroma segar dari dedaunan basah dan tanah yang baru tersiram embun. Di sebelah kiriku, Jalila menyandarkan punggungnya ke tembok batu—yang mengelilingi pohon beringin—sambil memejamkan mata. Sementara Mora sedang sibuk mengelap kacamatanya dengan ujung kaos olahraga.
"Er."
"Hmm…," gumamku sambil menoleh sekilas ke arah Mora sebelum kembali menatap lapangan.
"Kamu udah siap buat ulangan Geografi nanti siang?" lanjut Mora yang membuatku mengerutkan dahi.
"Ulangan Geografi?" sahutku sambil memastikan ulang. "Bukannya pelajaran Geografi masih besok?"
"Mo, Mo. Kalau masih ngantuk, mending merem lagi aja. Jangan malah mikirin ulangan, ngigo kan jadinya!" potong Jalila, suaranya terdengar malas, diakhiri dengan satu gerakan menguap lebar.
Tiba-tiba, suara sorak sorai dari lapangan mengalihkan perhatianku. Para laki-laki masih melanjutkan olahraga dengan bermain futsal. Bola berputar cepat di antara kaki-kaki mereka. Ketika benda itu hampir masuk ke dalam gawang, Kevin—sang kiper—dengan sigap menghalaunya.
"Arlen, semangat!!!" teriak beberapa perempuan dari kelas sebelah menyemangati laki-laki itu.
Aku menoleh, melihat Arlen bersiap-siap menendang bola. Dengan gaya yang sedikit berlebihan, ia mengayunkan kakinya. Namun, bukan bolanya yang melambung tinggi, justru sepatunya yang terbang dan mendarat di depanku dengan suara ‘plop’ yang lucu.
Aku, Jalila, dan Mora tidak kuasa menahan tawa melihat itu. Arlen berjalan mendekat dengan wajah masam. Tanganku segera meraih sepatunya dan menyerahkan padanya. Arlen duduk di hadapanku, memasang kembali sepatunya dengan ekspresi kesal.
"Arlen, Arlen! Kamu nendang bola atau sepatu?" Jalila masih terbahak-bahak.
"Mungkin dia pikir sepatunya bisa cetak gol," ledek Mora tidak mau ketinggalan.
Wajah Arlen merah padam. "Haha, lucu banget. Kalian coba sendiri deh main futsal, biar tahu kalau nggak semudah itu," semburnya, mencoba membela diri.
"Ya siapa bilang gampang? Tapi kita nggak akan sampai nendang sepatu juga kali!" sahut Jalila dengan masih tertawa.
Arlen mendengus. Ia beranjak berdiri, pergi meninggalkan kami dengan sepatu yang menghentak-hentak tanah. Tapi tidak lama ia ikut bergabung bersamaku lagi. Di tangannya ada kipas yang kali ini berwarna hijau dengan motif bunga sakura.
"Kok nggak main lagi, Len?" tanya Mora.
"Nggak, males!" sahut Arlen, ia terlihat ngambek. "Di antara kalian bertiga yang baik cuma Ertha doang, ya. Nggak ketawa di atas musibah orang lain."
Aku hanya tersenyum tipis, merasa sedikit bersalah karena sebenarnya aku juga ikut tertawa.
"Mana ada?! Malah Ertha yang ketawa pertama kali lihat sepatumu melayang."
Mendengar kebenaran dari Jalila, Arlen berdecak. Ia mengayunkan kipasnya ke arahku tapi aku berhasil menghindar dari pukulannya.
"Ini kipasmu yang kemarin, Len?" tanyaku, mencoba mengalihkan topik. "Atau baru lagi?"
"Baru beli semalem. Yang kemarin patah, dirusak sama Naya," gerutunya. Ia melirik sinis pada Naya yang baru bergabung dengan kami.
"Ya, maaf. Aku kan udah minta maaf," ujar Naya setelah mendengar namanya disebut. “Itu juga nggak sengaja, lho.”
"Maaf doang tapi nggak dibeliin yang baru, ya sama aja."
"Iya, iya. Nanti aku beliin. Besok aku bawain."
"Oke," putus Arlen kemudian. Ia mengayunkan-ayunkan kipasnya di depan wajah.
"Eh, eh, eh, kamu pernah dengar mitos ini, nggak?" Arlen menepuk kakiku dengan kipasnya, membuatku menoleh. "Siapapun yang jatuh cinta di bawah pohon beringin ini, katanya hubungannya bakal langgeng."
"Masa?" tanyaku penasaran. Aku mengambil kipas tangan milik Arlen yang ia letakkan di tanah. "Kata siapa?"
Arlen mengangguk dengan semangat seolah mitos itu benar adanya. "Tanya, deh, sama anak Amor Bumi. Mereka pasti nggak asing sama mitos itu. Anak-anak kelasmu ada yang ikut klub pecinta alam nggak?"
Ibu jariku menunjuk ke arah Jalila.
"Emangnya iya, La?" tanyaku kemudian.
"Mitos beringin ini?" Aku mengangguk. Jalila mengangkat bahunya. "Katanya, sih, gitu.”
“Tapi, aku cari pacar dulu, ya, nanti aku buktiin bener atau nggaknya,” sambung Jalila lagi.
"Kamu kan bisa buktiin sendiri, Bum," ujar Arlen. Ia mengubah nama panggilanku dengan seenaknya sendiri. Dari yang sebelumnya memanggilku ‘Ertha Bumi’, sekarang hanya menjadi ‘Bum’.
"Maksudnya?"
"Kamu udah punya pacar, kan?"
Aku melongo, bingung.