Kamis, Oktober 2016, pukul 7.40 pagi.
“...... libur.”
Aku baru saja menyalakan motor dan hendak berangkat ke sekolah saat sebuah suara parau terdengar dari belakang. Perasaanku langsung tidak enak saat melihat Bapak yang memakai jaket hitam, jalannya tidak sepenuhnya tegak. Semakin dekat, bau alkohol mulai tercium oleh indra penciumanku.
Sudah pasti mau mengacau, batinku. Tapi aku hanya bisa diam sambil meluaskan rasa sabar di hatiku dan merapalkan doa-doa keselamatan untuk diriku sendiri saat Bapak berkata dengan sedikit memaksa.
“Sini, aku antar aja!”
Aku tahu ia sedang mabuk. Aku sudah paham sejak kecil dengan perilakunya, meskipun banyak orang berusaha menutupinya dariku. Tapi, seberapa sering pun aku melihatnya seperti ini, hatiku masih tetap terasa berat. Aku ingin marah, tapi ada ketakutan yang mengikatku. Seolah-olah, jika aku mengungkapkan amarah atau kesedihanku, segalanya akan runtuh. Apakah ini cara yang benar untuk merasa? Haruskah aku tetap diam seperti yang selalu kulakukan, ataukah aku sebenarnya boleh membenci Bapak? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar di kepalaku, tanpa jawaban yang jelas.
Belum ada satu menit berlalu sejak motor melaju, tiba-tiba perjalanan kita terhenti di depan gang kompleks rumah. Bapak menyuruhku turun dari motor. “Kamu naik bus aja, ya. Aku ada urusan mendesak.”
Aku menatapnya tak percaya. Ingin marah, meluncurkan banyak protes yang menyesak di tenggorokan. Namun, tidak bisa. Kata Ibu, aku harus tetap menjadi anak baik yang tidak boleh terlihat marah, sedih, dan kecewa. Bahkan, meski sedang senang sekalipun, aku tidak boleh menampakkannya. Apalagi di luar rumah seperti ini, dengan beberapa tetangga yang melirik ke arahku. Mungkin iba atau mencomooh, entahlah. Aku hanya bisa diam sampai motorku dibawa pergi begitu saja.
Kedua mataku berkaca-kaca. Pandanganku buram dengan linang air mata yang kutahan supaya tidak jatuh. Namun, ketika sebuah bus datang dan aku duduk di dekat jendela, pertahananku runtuh. Hatiku semakin mencelos ketika menyaksikan sendiri Bapak mengendarai motorku ke arah yang berlawanan. Di belakangnya, seorang perempuan yang tidak kukenal membonceng dengan nyaman di atas motor yang Ibu belikan dengan susah payah.
Sesak di dadaku semakin menjadi. Sepanjang jalan, aku menangis dalam diam, berkali-kali mengusap air mata yang terus mengalir. Meski aku sudah tahu sejak lama bahwa Bapak berselingkuh, tetap saja melihatnya langsung seperti ini membuat hatiku hancur. Jika boleh, aku sangat ingin membencinya.
⁂
Beruntung, halaman sekolah terlihat sangat sepi saat aku turun dari halte bus. Meski begitu, aku tetap berjalan menunduk, melangkah dengan perlahan. Aku yakin tidak akan ada yang melihatku saat ini karena sudah lewat dari jam masuk sekolah, tetapi tetap saja aku tidak ingin terpergok dengan wajah sembab akibat menangis. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan.
Aku merasa kapok sudah pulang ke rumah seusai olahraga pagi tadi. Niatku, aku ingin rebahan sejenak di rumah sebelum berangkat sekolah lagi, tapi ternyata keputusanku salah. Sepertinya minggu depan dan seterusnya, aku tidak akan lagi pulang ke rumah setelah jam olahraga berakhir. La—
Indra?
Kedua kakiku mendadak kaku setelah aku mendongakkan kepala. Sosok yang aku kenal—meskipun aku melihatnya dari sisi samping, aku tetap bisa mengenalinya—sedang berjalan dari timur menuju lobi barat. Ia melangkah dengan santai sambil menggendong tas sekolahnya.