Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #24

Aku Sembunyikan Banyak Euforia

Deretan angka yang tertulis di papan tulis terlihat membingungkan. Guru sedang menjelaskan konsep-konsep Matematika yang sulit kupahami, dan aku merasa sedikit pusing. Seolah-olah dunia sekitarku memudar, menyisakan hanya suara guru yang bergema di telingaku.

Bak penyelamat, pintu kelas terbuka dan beberapa orang menyela jam pelajaran yang tampak mengerikan itu. Dari atribut yang mereka pakai, aku bisa mengenali mereka sebagai bagian dari ROAR—komunitas suporter sekolah. Salah satu dari mereka adalah Iqbal, kakak kelas yang aku kenal dari klub Kesenian Daerah. 

“Roar Together!” Iqbal bersuara lantang, dan seketika kami melanjutkan jargon itu dengan tidak kalah semangat. “Win Forever!”

“Seperti yang kalian tahu, tim basket kita akan bertanding di laga DBL minggu depan.” Laki-laki itu mengawali penjelasannya. “Sebagai bagian dari ROAR–suporter sekolah–kita harus dukung mereka dengan hadir di tribun.”

“Nah, hari ini kami udah menyiapkan penjualan tiket supaya besok nggak perlu bingung mau beli tiket di mana. Mulai hari ini kami melayani penjualan tiket di jam istirahat dan di jam pulang sekolah ya. Saat istirahat kami ada di  Huru Hara, saat pulang sekolah kalian bisa temui kami di Rinjani. Tapi, adakah yang mau beli sekarang?”

Sejak melihat Iqbal masuk ke kelas, ingatanku melayang ke formulir biodata yang lupa aku serahkan padanya saat pendaftaran anggota klub Kesenian Daerah kemarin lusa. Aku merasa gugup, dan tanpa sadar mulutku menyebut, “Mas!”

“Ya?” Iqbal menoleh ke arahku. Tetapi bukan hanya dia, tiga orang lainnya, termasuk Indra, ikut menghampiri mejaku. Fokusku bukan lagi pada Iqbal, melainkan pada Indra yang di tangannya membawa sebuah kamera. Dia mendekat, semakin dekat, dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Tatapan mata kami yang sempat beradu sekilas membuat detak jantungku berdebar lebih cepat

“Mau beli berapa?” tanya Iqbal. Suaranya terdengar jauh, seolah terhalang oleh suara detak jantungku yang semakin cepat. Aku kesulitan menjawab karena semua kata-kata di kepalaku seakan menghilang karena Indra mengangkat kameranya, siap mengambil gambar.

“Beli dua, Mas.” Beruntung respons Jalila membuat kesadaranku kembali. Aku buru-buru ikut mengeluarkan uang dan menyerahkannya pada Iqbal.

Selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Indra masih berdiri di sana, tetapi tak lama kemudian dia menurunkan kameranya. Ia lalu berjalan keliling kelas bersama Iqbal, mendokumentasikan setiap pembeli tiket.

Saat dia menjauh, aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi, setiap kali aku mengingat pertemuanku dengan Indra, baik yang lalu maupun hari ini, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum kecil. 

“Er!” 

Aku buru-buru menyembunyikan rasa bahagiaku. “Ya, Mo?”

“Besok kita berangkat bareng, ya. Kamu bonceng aku aja.”

Lihat selengkapnya