Desember, 2015
Hujan rintik-rintik turun di luar jendela. Suara gerimis mengalun lembut, menyatu dengan suara radio yang memutar lagu-lagu klasik di ruang keluarga. Aku duduk di sofa yang empuk, di samping ibu yang sedang merajut dengan penuh konsentrasi.
Aku sangat mengagumi Ibu, tentang bagaimana ia tetap berdiri kokoh meski badai dalam hidupnya tak pernah sedikit pun mereda. Juga tentang bagaimana ia selalu meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk menikmati hobi merajutnya. Apapun yang menurutku hebat, aku ingin selalu meniru Ibu.
Dan untuk itulah aku mencoba belajar merajut. Ibu sering berkata bahwa merajut adalah pelajaran hidup dalam bentuk sederhana. “Merajut itu bisa memberi kamu kepuasan, ketenangan, dan melatih otak supaya terus kreatif,” begitu katanya dengan nada persuasif.
Namun, rupanya merajut tak semudah yang aku duga. Pola-pola yang telah berhasil aku buat dengan susah payah kembali berantakan karena aku tidak teliti dan tidak sabar. Sekali dua kali aku masih mau untuk memperbaikinya, tapi setelah lima kali, aku meletakkan alat rajut itu ke atas meja sambil menyengir lebar yang mengundang decakan dari perempuan yang wajahnya sangat mirip denganku itu.
“Menyerah? Baru gini, kok, udah menyerah. Merajut itu melatih kesabaran. Kalau salah mengikuti polanya, ya, diulang lagi. Jangan dikit-dikit menyerah,” gerutu Ibu, menasihatiku.
Aku menghela napas panjang, mengeluh dengan suara mencicit. “Susah, Bu. Aku nggak bisa merajut.”
Ibu melirikku dengan tatapan tajam, lirikan yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. Ia tidak suka kalau aku sedikit-sedikit bilang susah dan tidak bisa. “Namanya juga baru belajar. Apa yang kamu lakukan sekarang adalah bagian dari proses belajar. Kemarin minta diajarin merajut, sekarang mau menyerah. Nggak boleh gitu! Ambil lagi jarum rajutnya.”
Dengan berat hati aku kembali menyentuh penyebab kerumitan duniaku hari ini. Mengulangi prosesnya dari awal lagi.