Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #26

Juga Tangisan Lara Menyesakkan

Saat aku akan menuju parkiran sekolah, langkahku terhenti saat dari jauh aku melihat ada kerumunan kakak kelas jahil yang menutup akses jalan menuju parkiran. Mereka terlihat sedang bercanda sambil tertawa keras, seolah menguasai area itu. Biasanya, aku akan menunggu sampai mereka membubarkan diri, yang artinya aku akan pulang saat sekolah sudah agak sepi. Tapi kali ini tidak bisa seperti itu—aku membawa motor Ibu dan harus segera menjemput adikku pulang sekolah. Maka, tidak ada pilihan lain selain menghadapi para kakak kelas itu, berharap kali ini bukan aku yang menjadi korban kejahilan mereka.

“Ertha!” Terdengar suara Arlen memanggilku dari belakang. Aku baru menoleh separuh ketika dia tiba-tiba menepuk bahuku dengan kipas tangannya.

“Kamu mau ke parkiran? Aku ikut, ya…. Males banget, ih, ketemu mereka. Aku tuh jadi korban mereka terus, Er.” Arlen memberondongiku dengan keluhan-keluhannya, seolah aku bisa menyelamatkan dia. Namun, aku juga tidak tega saat melihat badannya bergerak resah, jelas sekali kalau ia takut untuk menghadapi kerumunan itu.

“Bercandanya ngapain?” tanyaku pelan, mencoba memahami ketakutannya. 

“Ya, gitu…,” jawabnya tidak jelas. Pandangan matanya masih tak lepas dari kakak kelas yang tertawa di depan sana. 

“Gitu gimana?” Aku mendesaknya, meski sebenarnya mulai merasa takut juga. 

“Ya begitu pokoknya! Nanti kalo aku kasih tau, kamu malah nggak jadi pulang.” Arlen tiba-tiba menarik lenganku, mendekati kerumunan itu tanpa aba-aba. Jantungku berdegup kencang, berharap kami bisa lewat tanpa insiden apapun. “Mumpung lagi rame, Er, kita bisa nyelinap.” 

Namun, harapanku pupus begitu salah satu kakak kelas menatap ke arahku. Laki-laki itu bertanya sambil menyeringai, “kamu takut kecoak nggak?” Ia memainkan sesuatu di tangannya.

Sejujurnya, iya. “Enggak,” balasku datar.

“Yakin? Kalau aku lempar kecoaknya kayak gini—” Ia melemparkan sesuatu yang kecil dan bergerak cepat ke arahku. Aku tidak tahu kecoak itu mendarat di mana, tapi rasa takut langsung merayap di kulitku. “Kamu takut atau enggak?”

Aku menggeleng, menahan keinginan untuk menjerit ketakutan. 

Saat mereka percaya bahwa aku tidak takut, aku langsung memanfaatkan momen itu untuk pergi dari sana. “Permisi ya, Mas,” pamitku kemudian. Aku berusaha melewati mereka dengan wajah yang kuusahakan tetap tenang. Dalam hati, aku terus berdoa agar kecoak itu tidak benar-benar menyentuhku.  

Lagi-lagi Ibu juga yang mengajariku untuk tidak menunjukkan kelemahanku di depan orang lain. Terlebih lagi aku sudah berlatih di situasi seperti ini sejak kecil. Aku sudah sering kena bully oleh Bapak, dan jangan ditanya apakah aku berhasil menang tanpa terpengaruh olehnya. Tentu saja aku kalah, aku berujung menangis dan akhirnya aku selalu jadi sasaran empuk untuk terus dimaki-maki olehnya.

Namun, apa yang terjadi di rumah hanya akan terjadi di rumah. Di lain tempat, aku tidak akan menyuapi kejahilan siapapun. Aku berusaha keras untuk tetap tegar, meski di dalam hati rasa takut itu tetap ada.

“Ertha!” 

Arlen akhirnya muncul ke hadapanku lagi setelah ia berhasil kabur tanpa hambatan saat aku dipanggil oleh salah satu kakak kelas tadi. Ia berjalan mendekatiku—entah dari mana, mungkin baru saja selesai bersembunyi. Wajahnya juga tampak lebih tenang dibandingkan sebelumnya. 

“Makasih ya, Er, karena ada kamu aku bisa selamat,” ucapnya, terdengar tulus. 

Aku hanya mendecak pelan, “iya, tapi aku nggak selamat.”

“Buktinya kamu langsung lolos gitu aja dari mereka. Nggak ada tanda-tanda kecoak di kepala—ih!!!” Tiba-tiba, Arlen berteriak dan menlangkah mundur, matanya terbelalak.

“Ih, kenapa, Len?” tanyaku, mulai panik.     

Laki-laki pengoleksi kipas tangan itu tidak menjawab, semakin berjalan menjauh dariku. “Ada apa?!!” tuntutku lagi dengan nada sedikit lebih tinggi karena aku merasakan ada sesuatu yang berjalan di atas kepalaku.

“Itu… di kepalamu ada kecoak. Ih, takut! Jangan deket-deket!” 

Aku menjerit pelan. “Arlen! Bantuin aku usir kecoaknya, Len!” pintaku, mulai merengek.

“Aku nggak berani, Er, sumpah!”

Aku mencoba memaksa. “Aku juga nggak berani, Len, sumpah! Ini cuma kamu doang yang bisa bantuin aku.” 

“Aku nggak mau! Aku geli banget sama kecoak!”

“Aku ju—”

Lihat selengkapnya