Februari, 2017
Tadi pagi, tiba-tiba Yudha—ketua Focus—datang ke kelasku. Ia memanggilku dan memintaku untuk datang ke kumpul Focus sore ini. Saat mendengar itu, hatiku langsung mencelos karena hanya aku sendiri yang diminta datang, tidak dengan Kevin dan Aura. Sepanjang hari kepalaku penuh dengan skenario buruk, ditambah lagi Kevin juga sama sekali tidak membantu. Ia malah membuatku semakin cemas.
“Kamu dipanggil karena sering izin kali, Er,” ucap Kevin menakut-nakutiku.
“Tapi izinku jelas, kok, yang beneran bolos cuma beberapa kali aja,” sahutku, masih bingung salahku di mana.
“Tapi sering bolos, kan?” Kevin menatapku dengan senyum jahil.
“Ya…. iya, sih.”
“Nggak usah didengerin, Er. Kevin pasti bolosnya lebih banyak daripada kamu,” ujar Mora berusaha menenangkan aku.
“Sok tau!” seru Kevin.
“Emang tau! Aku sering lihat, kok, kamu hari Rabu main futsal di lapangan.” Mora membalas dengan puas.
Naya ikut menyahut. “Iya, Mo! Waktu aku tegur, katanya males karena udah jago fotogafi.”
“Sombong banget!” sindir Aura.
Kevin akhirnya menyerah dengan hanya tertawa, tidak mencoba membantah lagi. Setelah itu, meski aku tidak menyeruakan kegelisahanku tapi Mora berusaha menenangkanku.
“Kalau misal nanti kamu kena omel atau marah, ya udah dengerin aja. Kamu datang ke sana, duduk, dengerin—masuk kuping kanan, keluar kuping kiri—pulang, lupakan. Nggak usah dimasukin hati.”
Kalimat–kalimat itu yang akhirnya masih terus aku bawa sampai sore ini, ketika sampai di ruang kelas yang disebutkan oleh Yudha tadi. Di sana aku bertemu dengan Jalila yang seharian ini tidak kulihat di kelas.
“Kok kamu di sini, La?” tanyaku, bingung.
“Lah? Kita kan mau rapat bareng.” Ia malah ikut menatapku dengan heran.
“Rapat apa?”
“Kamu nggak baca suratnya emang?”
“Surat apa? Aku nggak nerima surat.”
“Lho? Tadi yang kebagian ngundang Ertha siapa?” Tama yang berdiri di sebelah Jalila akhirnya ikut bicara, menanyakan ke ruang kelas yang sudah diisi beberapa anak Focus dan OSIS. “Mas Yudha, ya?!” tembak Tama.
“Iya, kenapa?” sahut Yudha dengan wajah tanpa bersalah, yang langsung dipotong oleh Jalila dengan tatapan tajam.
“Hei, Mas Yud, pasti kamu nggak ngasih tahu agendanya ke Ertha, kan?”
“Udah, kok,” bantah Yudha. Tapi aku langsung menyahut, “belum.”
“Lho, belum ya?” sahut Yudha lagi sambil meringis.
Jalila berdecak keras. “Astaga! Kasian tahu anak orang udah ketakutan dikira bakal kena shock therapy padahal kita cuma mau rapat biasa!” Teguran ini akhirnya disambut sorakan oleh seisi ruangan yang menyalahkan Yudha. Sorakan itu sekaligus menertawakan kebiasaan Yudha yang ceroboh dan pelupa.
“Minta maaf, Yud!” Tiba-tiba Indra melintas, melewatiku sambil memberi perintah yang terkesan membelaku. Hatiku yang sempat merasa kesal menjadi hangat karenanya.
“Sorry ya, Ertha. Aku lupa kasih tahu. Kupikir Jalila udah nyusulin suratnya ke kamu, ternyata suratnya juga masih ada di kantongku, belum aku kasih ke Jalila. Sorry, ya.”
“Iya nggak apa-apa, Mas,” balasku sambil tertawa kecil. Tidak ingin mempermasalahku itu.
“Jangan cemas, kita nggak ada shock therapy kok hari ini,” ucap Yudha lagi yang kali ini membuatku tersenyum kecut, karena aku mengartikan lain ucapannya. Berarti lain kali ada, dong!
⁂
“Aku jelaskan lagi agendanya, ya, supaya nggak pada ngira kalau hari ini bakal shock therapy,” jelas Tama sambil terkekeh. “Jadi, beberapa waktu lalu, OSIS banyak menerima aspirasi dari tiap ekskul. Salah satu yang menarik adalah ide untuk mengubah Huru Hara jadi Canvas Corner. Dan, kami ingin Focus yang pertama kali launching di Canvas Corner ini.”
“Kenapa harus Focus dulu?” tanya Widi, teman seangkatanku di Focus
“Karena yang ngusulin aspirasi ini adalah Ertha. Jadi, karena yang menyumbang ide ini dari ekskul kalian, makanya kita mau fokusnya ke Focus dulu,” jawab Tama. Jalila langsung bertepuk tangan sambil melihat ke arahku. “Tepuk tangan dong buat Ertha!” Semua mata tertuju padaku, dan aku hanya bisa menunduk malu.