Juni, 2017
Waktu menjadi cepat berlalu saat Indra tidak lagi menjadi bagian dari kehidupanku. Entah kenapa semesta seolah langsung menghilangkan keberuntungan-keberuntunganku untuk bertemu Indra. Tidak ada lagi pertemuan tak sengaja di antara kita. Seperti kata Aura, Indra juga semakin sering tidak terlihat di kegiatan kumpul Focus. Dan mungkin, hari ini menjadi hari terakhirku bisa berkegiatan bersama dengan Indra sebelum mereka—Focus angkatan 7—demisioner.
Aku menghela napas dengan berat. Energiku benar-benar terkuras habis setelah kegiatan dari pagi hingga siang ini. Hari Mingguku kembali terusik dengan adanya kegiatan Focus; long march keliling kota dan menjalankan challenge yang diberikan di tiap-tiap pos yang kami lewati. Dan setelah ini masih harus mempresentasikan hasilnya.
Aku menggulir foto-foto dari kamera yang semalam baru aku sewa dari kenalan sepupuku. Melihat sekian banyak foto yang kuambil secara amatiran dan memilih satu yang terbaik di antara seluruhnya. Hasilnya, hanya ada satu foto yang menurutku paling menarik, bukan karena kualitasnya, tapi karena cerita di dalamnya.
“Dari lima pos yang sudah dilewati. Aku paling tertarik dengan foto ini.” Aku mengambil jeda sambil menarik napas, sebelum kembali menyampaikan presentasiku. “Foto ini diambil di pos kelima di Taman Bermain. Mungkin foto ini terlihat biasa saja, tapi menurutku ini spesial. Ada anak laki-laki duduk di ayunan sendirian, dia duduk tanpa ekspresi padahal di belakangnya anak-anak lain saling berlarian dan tertawa.”
“Aku sempat tanya kenapa dia cuma duduk diam di ayunan aja. Tadinya dia nggak mau jawab. Tapi saat aku tanya apa dia senang, dia bilang kalau dia senang main di sana. Dia suka main di ayunan itu. Lalu, aku berpikir, mungkin senang itu nggak harus selalu diperlihatkan lewat ekspresi atau perilaku. Tetapi kadang ada kebahagiaan-kebahagiaaan kecil yang mungkin cuma bisa dinikmati sendiri."
Aku menutup presentasiku dengan perasaan campur aduk, takut jika ada yang mengkritik hasil fotonya. Namun, ternyata aku hanya mendengar beberapa pujian, dan selebihnya mereka membicarakan anak laki-laki yang aku foto tadi.
“Aku tadi juga lihat anak itu, tapi aku nggak foto dia karena dia keliatan kayak nggak mau diganggu,” ujar Maria. “Aku dijudesin lagi sama dia.”
“Masih mending, waktu aku foto dia, dia malah angkat jari tengahnya,” sahut Tama seraya tercengang.
“Lho, kamu pasti belum minta izin, ya?” Tebak Tia.
“Hehe. Iya sih, belum.”
Aku mengabadikan anak laki-laki itu karena aku melihat ada diriku di jiwa anak itu. Tidak semua yang membuatku senang harus ditampakkan. Begitu juga dengan kesedihan, kekesalan, kemarahan, dan perasaan lainnya.
"Kalau senang, kenapa diam aja? Kenapa nggak mau coba main yang lain?" Begitu tanyaku kepada anak laki-laki tadi.
"Karena terlihat norak. Kayak nggak pernah ke taman bermain aja."
Jawaban yang diucapkan oleh anak laki-laki di ayunan tadi sama dengan apa yang selalu diutarakan Ibu. Ibu selalu berpesan, bahwa jangan sampai merasa takjub secara berlebihan meskipun itu kali pertamamu melihat sesuatu.
"Oh, kamu sering ke sini, ya?"
Dia menggeleng. "Baru pertama kali."
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Masa kecilku—bahkan hingga sekarang, aku masih seperti itu, menyembunyikan rasa senang dan seluruh perasaanku. Termasuk, saat aku menyukai Indra tetapi aku memilih diam saja. Tidak berusaha berteriak antusias ketika tidak sengaja bertemu. Tidak berusaha menceritakan segala hal yang baru aku tahu tentang Indra secara menggebu-gebu. Yah, mungkin itu juga salah satu caraku menikmati kebahagiaanku.
Alasan kedua kenapa aku tertarik pada anak laki-laki di ayunan itu adalah karena ia mengigatkanku pada Indra. Berapa bulan lalu ketika malam pengakraban, aku pernah melihat Indra duduk menyendiri di ayunan. Dia seolah punya kesibukan di dunianya sendiri. Dia seolah sedang menyiapkan rencana-rencana luar biasa untuk masa depannya.