Maret, 2022
“Kalau kamu jadi hewan atau tumbuhan, kamu ingin jadi apa?” Tama membacakan ulang pertanyaan dari asisten dosen, memulai diskusi kelompok. Suasana kelas semakin ramai dengan diskusi dari kelompok-kelompok. Sementara di kelompokku, kami—kecuali Tama–lebih fokus untuk menggoda Ijah, yang wajahnya makin merona sejak Tama bergabung dengan kelompok kami.
“Siapa mau mulai duluan?” Tama membuka suara lagi.
“Aku boleh.” Nona berdeham. “Aku pengen jadi kucing! Soalnya, hidup kucing tuh enak banget ya kayaknya. Bisa manja-manja, tapi juga mandiri. Plus, kucing tuh keren, bisa bikin orang yang tadinya nggak suka sama dia berubah jadi bucin berat sama mereka.”
Tawa Tama pecah. “Saking bucinnya mereka rela jadi babu buat kucing-kucing itu.”
“Betul! Mana kerjaannya juga cuma makan dan tidur doang. Nggak pusing ngerjain tugas kuliah,” sahut Nona dengan semangat. “Jadi, aku tuh pengen banget menikmati hari kayak kucing, santai tanpa beban.”
“Liburan kemarin kurang lama, Non?” canda Ulil.
“Kurang banget.” Nona terkekeh dengan jawabannya sendiri. “Vibes-nya beda antara hari libur sama kuliah gini. Kalau libur kan ya udah libur tanpa beban. Nah, sementara aku pengennya bisa menikmati hidup sesantai kucing pas lagi sibuk-sibuknya.”
“Agak mustahil, ya,” timpal Tama. “Tapi mungkin kamu coba belajar atur waktu aja, Non. Jadi sesibuk apapun harimu pada saat itu kamu tetep bisa punya waktu buat santai.”
“Kuncinya satu, nggak jadi deadliner,” sahut Ulil.
Tama mengangguk. “Terus kalau kamu, Lil, mau jadi apa?”
“Hmm,... aku pengen jadi bunga matahari,” jawab Ulil, matanya menerawang seolah mencari arti dalam jawabannya.
“Kenapa tuh?” Akhirnya, Ijah bersuara. Aku melemparkan senyum jahil kepadanya yang ia balas dengan isyarat jari telunjuk di depan bibir. Duduk di sebelah Tama sepertinya menjadikannya lebih pendiam.
“Mungkin di antara kita pernah punya pengalaman kehilangan arah. Nah, suatu hari disaat aku lagi down, aku ngelihat bunga matahari. Setelah aku liat-liat dan aku cari tau, ternyata dia bertahan hidup dengan ngikutin cahaya. Seolah-olah dia kayak bilang, seburuk-buruknya hidup kita pasti ada sisi positifnya.”
“Di mana ada bunga matahari?” tanya Nona.
“Di laptopnya Ertha,” jawab Ulil santai tapi membuat kami mengerutkan dahi. “Sebenarnya aku juga dapat insight itu dari Ertha. Dia ngasih tau makna dari bunga itu, dan setelah aku renungkan, aku pengen jadi bunga matahari juga.”
“Canvas Corner, Er?” celetuk Tama yang membuatku mengangguk dengan senyum lebar.
“Itu pun nemu makna foto itu udah di detik-detik terakhir sebelum dikunci di sekolah.” Aku jadi mengenang momen-momen kesibukan mengurus Canvas Corner bersama Tama dan Jalila. Ah, aku jadi kangen dengan temanku satu itu.
“Iya, aku tau banget lagi muka-muka panikmu waktu itu.” Aku tersenyum kecut saat Tama menertawakanku. “Terus kamu mau jadi apa, nih?”
“Burung, karena bisa bebas terbang kemana aja. Bisa pergi sejauh yang dia mau…,” jawabku dengan jujur. “Dan kuliah ini jadi titik awal aku terbang—anggap aja begitu. Aku bisa bebas dari sesuatu yang pernah mengekangku.”
Baik Ijah, Nona, dan Ulil yang tahu dengan cerita perjalananku, mereka mengganguk. Beruntungnya, respons Tama juga tidak buruk. “Setuju. Diam di sebuah tempat untuk waktu yang lama juga bakal bikin bosan, apalagi kalau lingkungannya nggak bisa mendukung kita.”
“Kalau kamu mau jadi apa, Tam?” tanya Nona.
Tama diam sesaat sebelum mengatakannya. “Aku pengen jadi pohon besar,” ucapnya dengan suara mantap.
“Pohon besar?” tanya kami serempak.
Mantan pacar Jalila itu mengangguk. “Iya, pohon beringin tepatnya. Kukuh, kuat, dan bisa melindungi makhluk hidup yang ada di bawahnya.”