"Halo, aku Rafif."
Setelah sekian lama aku menolak dikenalkan ke temannya, akhirnya hari ini Ulil benar-benar mempertemukanku dengan dia. Aku lantas membalas uluran tangan dari laki-laki itu sambil balik menyapanya dengan ramah.
"Hai, Rafif. Aku Ertha."
Rafif tersenyum. Tatapannya teduh, terlihat dari balik kacamatanya yang berbingkai tipis. Rambutnya agak berombak dengan tubuh yang cukup tinggi, sama seperti yang kulihat dari foto yang ditunjukkan Ulil beberapa waktu lalu. Ia terlihat santai, mengenakan kemeja biru muda yang sedikit tergulung di bagian lengannya.
“Ulil udah banyak cerita tentang kamu, Er.”
“Oh ya?” gumamku sambil melempar tatapan tajam ke Ulil; apa aja yang udah kamu ceritaiin?
"Bentar, bentar, jangan protes dulu. Kalian ngobrol berdua dulu, ya, aku lupa charger laptopku masih ketinggalan di kelas."
“Eh—” Ucapanku tidak berlanjut karena perempuan itu sudah berjalan menjauh dengan cepat.
Suasana canggung menyelimuti kita berdua. Aku tidak tahu obrolan apa yang harus aku bawa dengan orang yang baru saja kutemui. Mataku menjelajahi sekeliling, di selasar yang luas dan ramai, angin berhembus segar dan menggoyangkan pohon-pohon hijau.
Aku baru ingat, aku belum sempat mengucapkan rasa terima kasihku kepadanya. “By the way, makasih banyak ya. Katanya kamu yang ngasih tau soal kompetisi menulis novel waktu itu.”
“Sama-sama, Er. Kebetulan aku emang sering update tentang lomba menulis. Terus kayak yang aku bilang tadi, Ulil cerita soal kamu yang punya wishlist untuk nulis novel.”
“Beruntung banget, ya, aku,” ucapku sambil tertawa kecil. “Berarti kamu emang suka nulis juga, Fif?”
“Nulis laporan hasil penelitian, maksudnya?” kelakarnya yang membuat suasana canggung yang kurasakan lebih mereda.
“Kalo itu sih udah kewajiban, dong,” balasku ikut tertawa.
“Kalau ditanya suka nulis, sebenarnya nggak terlalu. Tapi aku suka baca terus dari situ pernah lah ikut nulis-nulis antologi juga.”
“Wih, keren,” pujiku tulus.
Rafif tersenyum. “Dan…. sebelum aku tau kamu temen Ulil, aku udah tau kamu dari Instagram duluan. Aku udah follow akunmu yang paperpenripple itu dari lama. Dari yang kamu post foto bunga matahari di green house, ya, kalau nggak salah?”
Aku sontak menutup mulut, tidak menyangka kalau ternyata ada yang mengikuti perjalanan menulisku dari awal. “Aduh, malu banget,” ucapku, mengenang postingan lama yang sudah lama kulupakan. Itu adalah awal aku membagikan potongan puisi di media sosial.