Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #38

Kembali Terseret ke Titik Mula

Oktober, 2017


“Perpus, yuk!” 

“Eh, aku ada rapat OSIS, nih.”

“Rapat terus! Nggak bosen apa?” sindir Mora yang membuat Jalila terkekeh. “Ya gimana lagi, emang begini kegiatannya. Udah ya, jangan kangen aku!” Jalila berlalu dari hadapanku sambil melakukan kiss bye.

Aku mengalihkan pandanganku ke Mora yang sudah bangkit dari duduknya. “Mau ngerjain tugas atau mau baca novel?”

Mora memang selalu hobi ke perpustakaan setiap jam kosong. Kegiatan perempuan berkacamata itu kalau bukan menghafal skrip drama untuk pentasnya, pasti tidak jauh-jauh dari belajar atau baca novel, tapi untuk yang terakhir itu lebih jarang. 

“Dua-duanya,” jawabnya setelah berpikir sebentar.

Setibanya di perpustakaan, kami dilarang masuk karena sedang ada pelajaran untuk anak kelas sebelah. Terpaksa, kami balik lagi ke kelas. Sampai di depan pintu, Kevin menghadang dengan gaya khasnya yang selalu tiba-tiba.

“Pilih kanan atau kiri?” Tiba-tiba ia menyodorkan kedua tangannya yang terkepal di hadapanku. 

“Buat apa?” tanyaku, bingung.

“Pilih aja!”

“Yang kanan aja, Er. Tangan kirinya kosong kayaknya,” ujar Mora mempengaruhiku. Aku pun mengikuti sarannya. 

“Kok bener, sih?!” Kevin menunjukkan tangan kirinya yang tidak menggenggam apapun. “Yaudah, nih, hadiah buat yang berhasil nebak.” Ia menyerahkan lima buah permen di atas tanganku. 

Mora di sebelahku langsung protes. “Yang nebak aku, kenapa Ertha yang dapat permen?!” 

“Salah siapa ikut nebak? Aku kan emang mau nawarin Ertha aja. Kalo kamu mau, ya beli sendiri aja!” sahut Kevin sambil berlalu pergi. 

“Pelit banget!” gerutu Mora dengan suara nyaring. Aku hanya tertawa sambil membagikan satu buah permen untuknya. Juga ke Naya dan Aura serta menyelipkan ke tempat pensil milik Jalila.

Hari ini awalnya menjadi hari yang paling ringan untukku. Tapi semua mendadak buyar setelah bel pulang sekolah berbunyi, Aura menghampiriku dengan wajah pucat.

“Ertha, aku minta tolong kamu buat gantiin aku nge-job di Badminton Cup, ya. Aku tadi udah minta izin cuma aku nggak enak kalau nggak ada yang gantiin aku.”

Aku tidak bisa bilang tidak mau, tapi aku masih berusaha beralasan. “Aku nggak bawa kamera juga, Ra. Kalau mau pinjam juga belum tentu orangnya bawa.”

“Semalem aku udah bilang Kevin. Terus katanya disuruh ambil aja ke kelasnya Indra siang ini. Jadi, kamu tinggal ambil aja, Er.” 

Aku membuka mulut tapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirku. Lidahku kelu membayangkan aku harus mencari Indra di kelasnya seorang diri dan harus berbicara dengan dirinya. Jantungku rasanya mau meledak hanya karena membayangkannya. 

“Jadi, ini pinjam kameranya Mas Indra?” tanyaku ulang.

Setelah mengiyakan, Aura langsung pamit pulang karena aku menyetujuinya dengan terpaksa. Aku ingin meminta bantuan Kevin untuk mengambilnya tapi laki-laki itu sudah tidak ada di kelas sejak bel pulang berbunyi. 

Aku akhirnya duduk di bangku depan kelas, mencoba menenangkan diri—meski susah sekali—karena aku bingung harus bagaimana. Pikiranku berkecamuk, antara langsung pergi ke kelas Indra atau mengirim pesan yang sudah aku ketik untuk laki-laki itu. Tetapi berkali-kali aku hanya bisa menatap pesan itu tanpa berani menekan tombol kirim. 

Sedang di tengah kekalutan, tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku. “Er, Jalilanya ada?”

Aku mengangkat kepala, melihat Tama berdiri di depanku. “Oh, tadi dia rapat OSIS, kan? Terus udah pulang, deh, kayaknya. Tasnya udah nggak ada itu,” jawabku sambil agak bingung, kenapa mendadak Tama mencari Jalila, padahal mereka seharusnya juga rapat bareng. Tapi itu bukan fokusku sekarang, aku harus segera mengambil kamera di kelas Indra.

“Oh, ya udah kalau gitu, aku kira masih di sekolah.” Aku hanya mengangguk. Lalu, tiba-tiba dia menyodorkan sebuah kotak yang membuatku menghembuskan napas dengan lega. “Ini katanya Indra, kamu mau pinjam kamera.”

“Makasih banyak ya, Tam. Padahal barusan aku mau ke sana,” kataku dengan lega yang masih bercampur dengan kalut. 

Lihat selengkapnya