Andai Kisah ini Tiba di Mejamu

Serasa Sarasa
Chapter #39

Pada Tempat yang Tak Kunjung Kurasa

Januari, 2018

"Er, boleh minta tolong fotocopy-in soal ini nggak? Aku masih belum ganti seragam soalnya," pinta Naya. Aku melirik seisi kelas yang sedang tidur usai pelajaran olahraga, termasuk Jalila yang berperan sebagai sekretaris dan Mora yang menjadi bendahara. Akhirnya, aku mengangguk. "Makasih, Er. Oh iya, sama sekalian tugas makalah kelas kita minta tolong dijilid juga, ya."

"Oke," jawabku. Naya menyerahkan kertas-kertas itu di atas mejaku, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas sambil membawa pakaian ganti.

Aku menikmati langkahku melewati lorong-lorong kelas yang terasa hidup. Suara gemerisik daun yang bergoyang terkena angin, suara kicauan burung yang berterbangan, dan suara guru yang sedang mengajar di salah satu kelas di lantai dua membentuk keharmonisan. Lalu, saat aku menuruni tangga dan berbelok ke lorong kelas dua belas, aku merasakan atmosfer yang berbeda, terasa lebih tenang dan seolah ada peringatan ‘dilarang berisik’. 

Aku melintas di jalan bebatuan yang membelah taman. Dari tempatku berdiri, terlihat beberapa kakak kelas perempuan yang sedang bercengkerama di Sahara–gazebo. Ada juga yang berbincang-bincang di depan kelas mereka. Menjadi anak kelas dua belas sepertinya memaksa mereka untuk serius belajar. Buktinya, aku melihat seorang laki-laki yang duduk menyendiri sambil membaca buku di depan ke—

Mas Indra?​ Aku menyipitkan mata, memastikan bahwa aku tidak salah mengenali orang. Dan memang benar, itu Indra.

Rasanya sudah lama sekali aku tidak menyebut nama laki-laki itu. Aku juga tidak ingat kapan terakhir kali aku bertemu dengannya. Mungkin saat bulan Oktober lalu? Iya, bisa jadi saat kegiatan malam pengakraban untuk anggota Focus angkatan 9. Sejak saat itu, aku tidak pernah berpapasan dengannya lagi. Apalagi sekarang kelas kita berbeda lantai, jadi tidak mungkin bisa bertemu kecuali kalau aku sering berjalan-jalan seperti sekarang ini.

Ternyata kerap membolos dari kumpul rutin Focus juga membuahkan hasil; aku sudah benar-benar melupakan Indra selama beberapa bulan ini. Aku tidak lagi mengingatnya dan sepertinya aku juga tidak terlalu peduli dengan obrolan antara Aura dan Kevin mengenai Indra. 



"Oke, ditunggu, ya. Ini lagi banyak antriannya. Pusing aku," keluh si Bapak Tukang Fotocopy yang sibuk dengan mesinnya dan tumpukan kertas di atas meja yang terlihat penuh.

Aku meringis, prihatin dengan kesibukannya pagi ini. "Kira-kira berapa lama, ya, Pak?"

"Kurang lebih dua puluh menit. Ini antrean punya guru, jadi harus langsung cepat dikerjain. Nggak bisa disela."

"Oh, ya udah. Saya ke kantin dulu kalau gitu, ya, Pak."

"Iya, sambil sarapan dulu aja."

Aku dari tadi menahan lapar karena sedang malas ke kantin. Tadinya mau ke kantin agak siangan, pukul 8 lebih. Tetapi mumpung saat ini fotocopy-nya juga antre, aku menunggu di kantin kelas dua belas saja. 

Kantin itu masih belum terlalu ramai, hanya ada beberapa orang yang lalu lalang masuk dan keluar kantin. Aku memesan makan dan minum sambil bermain ponsel. 

"Kita masih ada try out berapa kali lagi, sih?"

Lihat selengkapnya