Aku berlari menyusuri koridor sekolah yang sepi. Dinding-dindingnya terasa menjulang tinggi, seakan-akan menutup jalan keluar. Langkah kakiku terdengar menggema, semakin cepat namun terasa berat. Aku memegang buku dan catatan di kedua tanganku, tetapi lembar-lembar kertas itu berterbangan.
Aku semakin panik. "Semoga nggak terlambat.... jangan terlambat, jangan terlambat."
Tiba-tiba, koridor berbelok tajam dan aku akhirnya berdiri di depan pintu ruang ujian. Pintu itu tertutup rapat. Aku membukanya, seorang pengawas bersuara, "cepat masuk! Silakan dikerjakan, sisa waktunya dua puluh menit lagi."
Aku memandangi kertas di atas meja dengan tatapan kosong. Membolak-balik kertas soal yang tidak bisa kujawab sama sekali. Materi ujian hari ini berbeda dengan yang aku pelajari sejak semalam.
Lalu, satu per satu temanku keluar dari kelas. Bel ujian berakhir telah berbunyi. Lembar jawabku ditarik tanpa ada satu gores sedikitpun dari bolpoin yang aku genggam.
Aku berjalan keluar kelas dengan lunglai. Aku kehilangan Mora dan Jalila. Bahkan, Naya dan Aura tidak terlihat dari pandanganku. Kakiku berjalan tanpa arah, hanya mengikuti orang-orang yang kemudian berkerumun di depan papan pengumuman.
Lalu, aku mendengar mereka berempat berseru. "Selamat! Kita diterima!
Diterima? Lalu, aku? Aku bagaimana?
Aku langsung membelah kerumunan itu. Banyak nama-nama yang tertera di sana, mereka semua diterima masuk ke universitas. Akan tetapi, aku tidak sama sekali menemukan namaku. Telingaku berisik dengan orang-orang yang bersorak gembira. Kegembiraan mereka diselimuti tawa. Bahkan, mereka berempat—teman-temanku—seperti tidak meelihatku, mereka mengabaikanku.
Aku beralih ke papan pengumuman yang berbeda. Namaku tertera sangat besar di atas sana dengan warna merah.